Oleh Dr. Ir. Melya Riniarti, S.P., M.Si. IPU, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan Anggota Ikaperta Unila
GENERASI demi generasi terus bergulir, membawa perubahan besar dalam pola pikir, perilaku, dan cita-cita manusia. William Strauss dan Neil Howe dalam bukunya Generations: The History of America’s Future membagi penduduk dunia modern ke dalam lima kelompok besar: Baby Boomer (1946-1964), Generasi X (1965-1980), Generasi Y atau Milenial (1981-1994), Generasi Z (1995-2010), dan Generasi Alpha (2011-2025).
Di antara kelompok ini, Generasi Z, yang tumbuh dan berkembang dalam era digital, saat ini mendominasi bangku-bangku perkuliahan dan akan menjadi tulang punggung pembangunan bangsa dalam beberapa dekade ke depan.
Generasi Z, atau kerap dijuluki iGeneration atau Generasi Net, memiliki keunikan tersendiri. Mereka lahir di tengah kemajuan teknologi yang luar biasa, akrab dengan internet sejak kecil, dan mahir berinteraksi dengan berbagai perangkat digital.
Dengan kemampuan multitasking yang tinggi, kecekatan berbahasa, dan kecakapan komunikasi yang luar biasa, Gen Z tampil sebagai generasi yang sangat adaptif. Namun, karakteristik ini juga membawa sisi lain: kecenderungan individualisme, tingkat kesabaran yang rendah, dan ketergantungan pada segala sesuatu yang serba instan.
Dalam konteks dunia nyata, terutama dalam sektor yang membutuhkan kerja keras fisik seperti pertanian, tantangan besar pun muncul.Realita ini semakin diperjelas oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengungkapkan bahwa sekitar 9,9 juta Gen Z di Indonesia masuk dalam kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training).
Artinya, mereka tidak sekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan. Menariknya, fenomena NEET ini lebih tinggi di pedesaan (24,79%) dibandingkan di perkotaan (20,40%).
Angka ini menjadi alarm bagi kita semua bahwa ada potensi besar yang belum termanfaatkan dengan optimal, terutama dalam sektor-sektor strategis seperti pertanian.Sektor pertanian, yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional, justru mengalami penurunan minat di kalangan generasi muda.
Menurut riset terbaru dari JakPat, hanya 6 dari 100 Gen Z yang berminat berkarir di bidang pertanian. Salah satu alasan utama yang dikemukakan oleh 36,3% responden adalah anggapan bahwa sektor ini tidak menawarkan prospek pengembangan karir yang menarik.
Mereka melihat pertanian sebagai profesi tradisional yang kurang prestisius, kotor, dan melelahkan, jauh dari gambaran pekerjaan modern yang nyaman dan bergengsi.
Data lain yang memperkuat kekhawatiran ini datang dari dunia pendidikan. Penurunan signifikan peminat program studi pertanian terjadi di berbagai universitas terkemuka di Indonesia.
Pada tahun 2024, di Universitas Lampung, tiga program studi di Fakultas Pertanian masuk dalam kategori paling sepi peminat. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), lima program studi pertanian mengalami nasib serupa. Bahkan di Institut Pertanian Bogor (IPB), sebuah universitas yang selama ini identik dengan pertanian, enam program studi masuk dalam kategori minim peminat.
Fenomena ini jelas mengindikasikan bahwa ada tantangan serius dalam menarik minat generasi muda terhadap dunia pertanian.Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengubah pandangan Gen Z terhadap sektor pertanian?Pertama, membangun narasi baru tentang pertanian.
Pertanian harus diposisikan bukan sekadar sebagai aktivitas menanam dan memanen, melainkan sebagai sektor modern yang berbasis teknologi tinggi, inovasi, dan kewirausahaan.
Pertanian 4.0 dengan konsep smart farming, Internet of Things (IoT) di bidang agrikultur, drone untuk pemantauan tanaman, hingga aplikasi mobile untuk pemasaran hasil tani, semua ini harus diperkenalkan dan dipopulerkan kepada Gen Z.
Mereka perlu melihat bahwa di masa depan, bertani bukan lagi identik dengan lumpur dan cangkul, tetapi dengan laptop, sensor digital, dan jaringan global.Kedua, memberikan insentif konkret dan jalur karir yang jelas.
Pemerintah dan dunia usaha perlu menawarkan program beasiswa, magang, inkubasi bisnis, dan akses modal yang mendukung keterlibatan Gen Z di sektor pertanian.
Startup agritech bisa menjadi role model yang menunjukkan bahwa bertani bisa mendatangkan pendapatan besar dan membangun karier profesional yang bergengsi.
Ketiga, membangun koneksi emosional. Penting untuk menyadarkan Gen Z bahwa sektor pertanian bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga bagian dari perjuangan menjaga ketahanan pangan nasional, kedaulatan negara, dan keberlanjutan bumi.
Membuat mereka merasa meaningful dan impactful dalam pekerjaan mereka adalah kunci penting untuk menggerakkan motivasi intrinsik generasi ini.Keempat, menciptakan ekosistem pertanian yang ramah anak muda.
Kampus, lembaga riset, pemerintah daerah, hingga komunitas tani harus berkolaborasi menciptakan lingkungan yang inovatif, kompetitif, sekaligus menyenangkan.
Misalnya dengan menggelar festival inovasi pertanian, kompetisi startup agribisnis, hingga program reality show bertema smart farming yang menarik untuk Gen Z konsumsi.Kelima, memanfaatkan kekuatan media sosial.
Untuk menyentuh hati dan pikiran Gen Z, kita perlu hadir di platform-platform digital yang mereka gunakan. Cerita sukses petani muda, peluang bisnis di pertanian modern, tips agritech, hingga video kreatif bertani urban bisa disebarkan secara masif melalui Instagram, TikTok, YouTube, dan lainnya.
Jangan berbicara menggunakan bahasa lama kita masuklah ke dunia mereka dengan bahasa yang mereka pahami dan nikmati.
Masa depan pertanian Indonesia ada di tangan generasi muda. Jika kita ingin mencapai cita-cita besar swasembada pangan nasional, membangun ketahanan pangan di tengah tantangan global, maka kita tidak punya pilihan selain memastikan bahwa Gen Z tidak hanya memahami pentingnya pertanian, tetapi juga melihat sektor ini sebagai tempat mereka bisa berkreasi, berkarier, dan berkontribusi nyata.
Menjadi petani modern bukanlah pilihan terakhir, melainkan keputusan cerdas dan patriotik. Sekaranglah waktunya membuka mata Gen Z: bahwa dari ladang, kita bisa membangun masa depan yang gemilang. ***