Sabtu, 02 Agu 2025
Rabu, 23 Jul 2025

Peluang dan Tantangan Nanoteknologi untuk Pakan ternak Unggas

Oleh: Etha ‘Azizah HasiibDosen PS Nutrisi dan Teknologi Pakan Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan Anggota Ikaperta Unila

PERKEMBANGAN industri peternakan unggas tak luput dari perkembangan bioteknologi di bidang peternakan. Industri ternak unggas terus berkembang pesat seiring dengan optimalisasi potensi genetik dari unggas.

Tahun 2025 ini diprediksi daging unggas akan menjadi komoditas daging tertinggi yang dikonsumsi di seluruh dunia. Tingkat konsumsi daging unggas di dunia mencapai rata-rata 21,9 kg/kapita, sedangkan Indonesia 8,4 kg/kapita (OECD, 2025).

Daging unggas dipilih oleh konsumen karena memiliki keunggulan, yaitu harganya yang relatif lebih murah dari pada daging produk peternakan lainnya, tingginya kadar protein dan kandungan lemak yang lebih rendah pada daging unggas, serta lebih mudah untuk diperoleh di pasaran.

Dari segi konsumsi yang tertinggal jauh ini perlu adanya upaya peningakatan produksi unggas pedaging dan upaya efisiensi produksi. Tantangan yang kini dihadapi adalah tingginya biaya bahan pakan karena beberapa bahan pakan masih impor, sehingga harga pakan cenderung fluktuatif.

Di sisi lain, tingkat produksi bahan pakan lokal bergantung dengan produksi tanaman yang juga cenderung fluktuatif.

Oleh karena itu perlu adanya campur tangan bioteknologi dalam menunjang pertumbuhan ternak, terutama dalam bioteknologi pakan.

Dalam usaha peternakan, biaya pakan mencakup hingga 70% sehingga perlu adanya upaya dalam meningkatkan efisiensi pakan.

Saat ini penelitian dalam bidang unggas banyak bertumpu pada perkembangan bioteknologi pakan, sehingga perlu adanya upaya riset yang terkoneksi dengan industri.

Saat ini riset dalam bidang unggas banyak bertumpu pada perkembangan bioteknologi pakan, sehingga perlu adanya upaya riset yang terkoneksi dengan industri.

Perkembangan riset pakan saat ini banyak berkembang dalam bidang feed additive karena saat ini sudah dilarang dalam menggunakan antibiotic growth promotor dalam pakan.

Pemerintah melalui Peraturan Kementerian Pertanian (Permentan) No. 14 tahun 2017 tentang klasifikasi obat hewan telah melarang penggunaan antibiotic growth promotor yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2018.

Adanya pelarangan ini tentu membuat akademisi, peneliti, atau stakeholder perlu mencari alteratif guna meningkatkan performa ternak.

Berbagai jenis feed additive yang digunakan dalam imbuhan pakan dapat berupa prebiotic, probiotik, enzim, fitobiotik, dan beberapa kelompok asam organic.

Namun, penggunaan feed additive ini memiliki kelemahan, yaitu memiliki bioavibilitas yang rendah, sehingga kurang optimal dalam mendukung pertumbuhan ternak.

Oleh karena itu, perlu ada upaya dalam mengoptimalkan bioavibilitasnya melalui nano-teknologi. Nanoteknologi adalah salah satu upaya yang menjadi terobosan kondisi emergensi akan kebutuhan daging unggas.

Nanoteknologi dilaporkan mampu menjadi teknologi yang menjanjikan dan sedang berkembang dan memiliki potensi yang luar biasa dalam revolusi sektor peternakan.

Konsep nanoteknologi adalah untuk mengurai partikel menjadi ukuran yang lebih kecil. Perkembangan nanoteknologi sebagai teknologi yang advance diciptakan untuk membuat suatu bahan yang ukuran dimensinya kurang dari 100 nm.

Ukuran partikel yang kecil ini diharapkan mampu meningkatkan bioavibilitas serta memiliki peluang daya absorbs yang baik dalam sistem pencernaan unggas, sehingga penggunaannya akan lebih optimal bagi tubuh ternak. Saat ini penggunaan nanoteknologi sudah banyak berkembang pada feed additive yang relevan dengan kebutuhan ternak.

Beberapa bentuk nanoteknologi yang saat ini sudah banyak diteliti adalah:

a. Nanoteknologi pada mineral, seperti nanozinc, nanocopper, nanocarbon, nanoTiO2, nanosilver, nanoselenium, nanocalcium, nanochromium, dan nanomanganese.

Pemberian nano mineral ini dilaporkan mampu meningkatkan bioavibilitas mineral dalam tubuh ternak, meningkatkan efisiensi nutrien, meningkatkan kualitas daging dan telur, serta meningkatkan imunitas.

b. Nano teknologi pada fitobiotik banyak dilakukan riset melalui pembuatan nanopartikel pada senyawa aktif yang terkandung di dalamnya. Hasil yang diperoleh adalah bioavibilitas senyawa aktif yang tinggi, sehingga penggunaannya dalam tubuh bisa optimal.

Selain itu dilaporkan juga penggunaan nanoteknologi pada fitobiotik mampu menekan konversi pakan, meningkatkan pertumbuhan, menghasilkan daging dan telur yang berkualitas tinggi, serta menjaga imunitas.

c. Nano teknologi pada probiotik banyak ditujukan untuk pembuatan nanopartikel pada probiotik yang bertujuan untuk meningkatkan bioavibilitas probiotik dalam saluran pencernaan, ketahanan pada kondisi lambung dan suhu, serta memiliki masa simpan yang lebih baik.

Dengan kata lain, penggunaan nanoteknologi ini memberikan keuntungan dalam peningkatan absorbansi nutrient dalam tubuh ternak. Kondisi ini juga menguntungkan dari segi efisiensi nutrient dimana sejumlah makronutrien akan diserap secara optimal.

Apabila mikronutrien terserap optimal maka proses konversi menjadi daging akan lebih baik dan akan meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan.

Singkatnya, nilai konversi pakan akan lebih rendah dan tentunya akan lebih menguntungkan. Pakan yang optimal digunakan akan membuat kecernaan meningkat sehingga akan menurunkan jumlah ekskreta yang terbuang.

Hal ini juga akan memperbaiki kondisi lingkungan peternakan yang lebih baik karena limbah yang dihasilkan semakin sedikit dan emisi gas rumah kaca juga menurun.

Dalam aplikasinya juga penggunaan nanoteknologi secara umum mampu meningkatkan imunitas ternak dan menghasilkan produk peternakan yang berkualitas baik.

Penggunaan nanoteknologi ini menjadi angin segar dalam dunia peternakan karena berbagai potensi yang dimiliki serta menjadi solusi yang revolusioner dalam menjawab tantangan efisiensi dan kualitas produk peternak. Namun, disisi lain aplikasi nanoteknologi masih banyak diaplikasikan dalam skala laboratorium.

Tantangan yang dihadapi ini tak lain adalah tingginya biaya produksi dalam pembuatan nanoteknologi, kurangnya regulasi yang mengatur keaman dalam penggunaan nanoteknologi dalam pakan ternak, terbatasnya fasilitas untuk aplikasi, serta adanya resiko efek samping dari pembuatan nanoteknologi.

Oleh karena itu perlu adanya kolaborasi yang komprehensif antara akademisi, peneliti, industry, dan juga pemerintah untuk aplikasi penggunaan nanoteknologi dalam pakan ternak unggas.

Pemerintah juga perlu mengeluarkan regulasi yang jelas terkait aplikasi nanoteknologi untuk peternakan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kesiapan bagi pelaku industri dan peternak dalam penggunaan nanoteknologi dan perlu adanya edukasi dan pendampingan khusus dalam aplikasinya. ***

Tuliskan komtar mu disini
Tulisan Lainnya...