Oleh: Ismiasih, S.P.Penyuluh Pertanian di BPP Trimurjo, LampungTengah dan Anggota Ikaperta Unila
SEBAGAI garda terdepan dalam pembangunan pertanian penyuluh pertanian memiliki peran penting.
Selain sebagai sosok yang menjembatani petani dengan pemerintah dan pihak lainnya, penyuluh pertanian merupakan agen transformasi dan diseminasi informasi dan teknologi baru melalui kegiatan penyuluhan pertanian.
Tujuannya untuk meningkatkan produksi, produktifitas, kesejahteraan petani, dan tercapainya swasembada pangan.
Dulu, di era revolusi hijau dari tahun 70-an sampai dengan tahun 80-an penyuluh pertanian berkontribusi besar dalam memajukan sektor pertanian melalui program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas).
Pada masa itu peningkatan produksi pangan– dalam hal ini padi –dilakukan melalui upaya intensifikasi maupun ektensifikasi.
Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan Indeks Pertanaman (IP) dari 100 menjadi 150 atau 200, dengan menerapkan paket teknologi yang disebut Panca Usaha Tani.
Bimas maupun Inmas dilakukan penyuluh melalui sistem LAKU (Latihan dan Kunjungan) . Penyuluh pertanian secara nyata berperan sebagai edukator, motivator, fasilitator, agen perubahan , dan pengelola program.
Melalui pendampingan penyuluh pertanian petani dapat menerapkan paket teknologi Panca Usaha Tani dengan tingkat penerapan secara inmum, insus, maupun supra insus.
Dalam implementasinya penyuluh pertanian mampu mengenalkan, memaksa, dan membiasakan petani untuk menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetik yang menjadi salah satu dari paket teknologi Panca Usaha Tani tersebut.
Keberhasilan penerapan teknologi ini terbukti mampu meningkatkan produksi dan produktifitas padi. Puncaknya dengan dicapainya swasembada pangan pada tahun 1984 .
Saat itu petani Indonesia terbang ke Roma, Italia untuk menerima penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization) atas keberhasilan tersebut.
Sebuah catatan emas dalam sejaran pertanian Indonesia. Bagaimana peran dan tantangan penyuluh pertanian kini? Meskipun sempat redup di era tahun 90-an sampai dengan era reformasi, revitalisasi penyuluhan pertanian menggema Kembali setelah terbitnya undang-undang no 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (SP3K).
Berikutnya, pada tahun 2007 Kementerian Pertanian Republik Indonesia melakukan perekrutan Pegawai Tidak Tetap Penyuluh Pertanian yang kemudian berganti nama dengan Tenaga Harian Lepas Penyuluh Pertanian(THL-TBPP).
Kehadiran THL-TBPP mau tidak mau memberi energi dan spirit baru bagi kegiatan penyuluhan pertanian. Saat itu kelembagaan petani seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani (Gapoktan), serta Kelompok Wanita Tani (KWT) kembali benahi dan/atau dibentuk.
Hasilnya? Konon pada tahun 2008 kita mampu mencapai swasembada pangan kembali walaupun pencapaian itu tidak berlangsung lama dan ada beberapa pihak yang meragukannya.
Pada era kepemimpinan presiden Prabowo Subiyanto , swasembada pangan menjadi salah satu misi Asta Cita. Peran penyuluh pertanian dipertegas melalui Inpres no 3 tahun 2025 tentang pendayagunaan penyuluh pertanian dalam rangka percepatan swasembada pangan.
Dengan terbitnya Inpres tersebut menjadi sebuah tantangan baru bagi penyuluh pertanian . Sebuah tantangan besar yang tidak mudah walaupun tetap optimis bisa dicapai.
Tantangan dan tuntutan peningkatan produksi dan produktifitas padi dan peningkatan kesejahteraan petani ditengah menurunnya daya dukung lingkungan hidup dan laju alih fungsi lahan.
Jika pada era Bimas peningkatan Indeks P ertanaman(IP) padi 200 sampai 250 cukup bisa membuat Indonesia swasembada, itu karena jumlah penduduk waktu masih sekitar 150 sampai 170 juta jiwa.
Pada saat ini jumlah penduduk Indonesia telah meningkat hingga 286 juta juta jiwa. Karenanya penanaman padi dengan IP200 sudah tidak memadai lagi.
Oleh karena itu pemerintah melalui kementerian pertanian berupaya meningkatkan produksi dengan peningkatan IP dari 200 menjadi 300 bahkan 400.
Meningkatkan produksi padi dengan mengubah pola tanam dari padi-padi -palawija atau padi-palawija- padi menjadi padi-padi-padi atau padi-padi-padi-padi menimbulkan konsekuensi yang tidak mudah.
Diperlukan strategi dan pengkajian lebih mendalam dalam penerapan teknologinya. Tidak bisa asal-asalan. Jika hal ini diabaikan tentu saja akan menjadi sesuatu yang tidak kita inginkan seperti yang pernah terjadi di sekitar tahun 2016.
Sukses tanam tetapi tidak sukses panen karena ledakan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Tantangan dan permasalahan utama saat ini yang harus segera diupayakan pemecahannya adalah masalah menurunnya daya dukung lingkungan terutama menurunnya kesuburan tanah, ketersedian air, dan meningkatnya serangan OPT karena tidak adanya pemutusan siklus perkembangbiakannya.
Dengan pola tanam padi-palawija-padi jelas ada pola pemutusan siklus hama penyakit dan pengistirahatan tanah untuk menjaga kesuburannya. Dengan pola tanam padi-padi-padi, yang paling penting kita cermati adalah bagaimana bisa menjaga kesuburan tanah dan agroekosisitem lahan pertanian tetap terjaga.
Keberhasilan revolusi hijau di era bimas selain berdampak positif meningkatkan produksi dan tercapainya swasembada pangan tetapi juga menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang.
Petani telah terbiasa menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetik cenderung menggunakannya secara berlebihan yang berdampak pada kelestarian lingkungan. Inilah tantangan terbesar bagi penyuluh pertanian saat ini.
Tidak mudah mengubah perilaku petani yang dulunya dipaksa menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetik tapi sekarang justru mereka harus mulai kembali menggunakan pupuk organik dan pestisida ramah lingkungan.
Tidak mudah mengembalikan kesuburan tanah dengan mengembalikan bahan organik ke lahan pertanian secara cepat . Tidak mudah menerapkan sistem pertanian terpadu untuk lahan tanaman padi sekala rumah tangga.
Petani tidak selalu punya ternak, Kalaupun ada tidak mencukupi kebutuhan lahan yang mereka punya. Demikian pun dalam penggunaan pstisida ramah lingkungan.
Dengan alasan efektifitas dan efisiensi petani menggunakan pestisida kimia sintetik secara tidak bijaksana karena takut gagal panen.
Selain tantangan teknis, penyuluh pertanian juga dihadapkan pada tantangan dalam pembinaan kelembagaan petani. Seharusnya kelembagaan petani bisa menjadi wadah untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Berapa yang dihasilkan petani jika hanya mengandalkan sektor on farm saja? Petani perlu ditingkatkan pengetahuan, kemauan , dan keterampilannya dalam mengelola kelembagaan tani yang berorientasi bisnis. Kelembagaan petani diharapkan mampu menjalankan agribisnis dari hulu ke hilir, dari pengadaaan input produksi seperti saprodi( benih, pupuk, pestisida dll), sampai pada pemasaran dan pengolahan hasil.
Untuk mewujudkan hal tersebut penyuluh pertanian tidak mampu melakukannya sendiri. Harus ada kolaborasi dengan pihak terkait yang menyangkur penyediaaan sarana dan prasarana penyuluhan yang memadai serta piranti kebijakan yang mendukung dan melindungi. Salam Jaga Pangan Jaga Masa Depan ! ***