Oleh: Fauziah Yulia Adriyani, Penyuluh Pertanian Madya Balai Penerapan Modernisasi Pertanian (BRMP) Lampung dan Anggota Ikaperta Unila
PERTANIAN adalah jantung kehidupan manusia. Dari sawah, ladang, dan kebun, lahir bahan pangan yang menjadi sumber energi utama bagi kita semua.
Karena itu, pembangunan pertanian yang berkelanjutan bukan hanya soal meningkatkan produksi, tetapi juga tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara kebutuhan pangan, kesejahteraan petani, dan kelestarian lingkungan.
Di balik keberhasilan pembangunan pertanian, ada satu unsur penting yang sering tidak terlihat di permukaan: penyuluh pertanian. Mereka menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah dan praktik di lapangan.
Penyuluh membantu petani memahami teknologi baru, mengelola usaha tani, serta menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, hama, dan keterbatasan sumber daya.
Namun di banyak daerah, termasuk di Provinsi Lampung, jumlah penyuluh pemerintah masih sangat terbatas.
Keterbatasan Penyuluh dan Munculnya Peran SwadayaData Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (KPTPH) Lampung menunjukkan rasio penyuluh terhadap kelompok tani mencapai 1:18.
Artinya, satu penyuluh harus mendampingi 18 kelompok tani sekaligus. Beban ini tidak ringan, apalagi dengan luas wilayah kerja yang sulit dijangkau dan ragam komoditas yang berbeda-beda.
Kondisi tersebut memunculkan kebutuhan akan penyuluh pertanian swadaya, yaitu individu yang secara sukarela membantu petani lain tanpa bergantung pada gaji pemerintah.
Biasanya mereka adalah petani maju, ketua kelompok tani, atau pelaku agribisnis lokal yang sudah berpengalaman dan ingin berbagi pengetahuan.
Keberadaan penyuluh swadaya menjadi jawaban atas keterbatasan tenaga penyuluh ASN dan THL.
Mereka hadir karena rasa kepedulian dan keinginan untuk memajukan pertanian di komunitasnya sendiri.
Hubungan antarpetani yang egaliter membuat proses belajar lebih mudah dan alami. Petani lebih terbuka berdiskusi dengan sesama petani yang sudah berhasil, karena tidak ada jarak sosial yang menghambat.
Penelitian Indraningsih dkk. (2010) menunjukkan bahwa pembelajaran dari petani ke petani lebih efektif dibanding penyuluhan formal semata.
Komunikasi berlangsung dua arah, penuh keakraban, dan sesuai dengan konteks lokal. Inilah keunggulan utama penyuluh swadaya: mereka tidak hanya menyampaikan teknologi, tetapi juga menumbuhkan semangat saling belajar dan gotong royong.
Tantangan dalam Pengembangan Penyuluh SwadayaMeski perannya penting, pengembangan penyuluh swadaya tidak selalu berjalan mulus. Berdasarkan data UPTD Penyuluhan Dinas KPTPH Lampung tahun 2025, tercatat 584 orang penyuluh swadaya di seluruh provinsi, namun masih ada empat kabupaten yang belum memiliki satu pun penyuluh swadaya.
Jumlah ini tergolong rendah dibandingkan kebutuhan di lapangan.Salah satu penyebabnya adalah minimnya minat masyarakat untuk menjadi penyuluh swadaya.
Berbeda dengan penyuluh ASN yang mendapat honorarium, penyuluh swadaya umumnya bekerja tanpa bayaran tetap. Mereka harus menanggung sendiri biaya transportasi, komunikasi, hingga waktu yang dikorbankan untuk mendampingi petani lain.
Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan motivasi dan membuat keberlanjutan peran mereka terancam.Selain itu, belum ada standar kompetensi nasional bagi penyuluh swadaya.
Banyak di antara mereka memang memiliki keterampilan teknis dan pengalaman luas, tetapi belum mendapatkan pengakuan resmi melalui sertifikasi atau pelatihan formal.
Akibatnya, kemampuan antarpenyuluh swadaya sangat bervariasi, tergantung pada latar belakang dan akses mereka terhadap informasi.
Masalah lain adalah minimnya pembinaan berkelanjutan. Selama ini, kegiatan pembinaan lebih bersifat sporadis—sekali pelatihan tanpa tindak lanjut.
Padahal, dunia pertanian berkembang sangat cepat. Inovasi teknologi, perubahan iklim, dan dinamika pasar menuntut penyuluh untuk terus memperbarui pengetahuan.
Tanpa dukungan pembinaan rutin, penyuluh swadaya bisa mengalami stagnasi pengetahuan, sehingga informasi yang mereka sampaikan kepada petani berisiko ketinggalan zaman.
Perlunya Pengakuan dan Dukungan NyataSudah saatnya peran penyuluh swadaya diakui secara resmi sebagai mitra pembangunan pertanian.
Mereka bukan sekadar relawan, tetapi bagian penting dari sistem penyuluhan yang memperkuat kapasitas petani di tingkat akar rumput.
Dukungan dapat diberikan melalui beberapa cara.Pertama, penguatan kapasitas melalui pelatihan, magang, atau studi banding.
Kegiatan ini akan memperbarui wawasan penyuluh swadaya tentang inovasi pertanian dan memperluas jaringan antarpetani.
Kedua, pemberian penghargaan atau insentif nonmateri sebagai bentuk apresiasi atas dedikasi mereka.
Sertifikat, piagam penghargaan, atau bantuan sarana produksi seperti benih dan alat pertanian bisa menjadi simbol pengakuan yang sangat berarti.
Ketiga, dukungan pembiayaan operasional melalui program kemitraan dengan lembaga pemerintah atau swasta.
Misalnya, penyediaan dana transportasi, alat peraga, atau fasilitas komunikasi. Hal-hal sederhana seperti ini dapat meningkatkan efektivitas penyuluhan di lapangan.
Keempat, penguatan kelembagaan penyuluh swadaya. Dengan membentuk asosiasi atau kelompok kerja, penyuluh swadaya dapat saling bertukar informasi, memperjuangkan aspirasi, dan memperluas jangkauan pendampingan ke desa-desa lain.
Langkah-langkah tersebut bukan hanya membantu penyuluh swadaya secara individual, tetapi juga memperkuat ekosistem penyuluhan pertanian secara keseluruhan.
Dalam konteks pembangunan daerah seperti Lampung yang memiliki potensi besar di sektor perkebunan, hortikultura, dan pangan, keberadaan penyuluh swadaya dapat menjadi motor penggerak yang memastikan inovasi pertanian benar-benar sampai ke tangan petani.
Membangun Sistem Penyuluhan yang Partisipatif dan BerkelanjutanPenyuluh swadaya merupakan jembatan antara pengetahuan ilmiah dan kearifan lokal.
Mereka hadir di tengah masyarakat, memahami persoalan di tingkat tapak, dan mampu menjembatani kebijakan pemerintah agar sesuai dengan kebutuhan riil petani. Dalam sistem penyuluhan yang partisipatif, peran mereka tak tergantikan.
Namun agar sistem ini berkelanjutan, diperlukan dukungan dari berbagai pihak: pemerintah, lembaga pendidikan, sektor swasta, dan masyarakat petani sendiri.
Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mengakui keberadaan penyuluh swadaya serta menyediakan mekanisme pembinaan yang terstruktur. Lembaga pendidikan pertanian dapat berperan dalam penyusunan kurikulum pelatihan dan pendampingan teknis.
Sementara itu, sektor swasta dapat membantu melalui program tanggung jawab sosial (CSR) yang diarahkan pada penguatan kapasitas penyuluh dan petani.
Pembangunan pertanian modern tidak bisa hanya mengandalkan teknologi dan modal. Diperlukan manusia-manusia inspiratif yang mau berbagi pengetahuan, memotivasi, dan memimpin dengan keteladanan. Itulah yang dilakukan penyuluh swadaya di berbagai pelosok Lampung.
Mereka mungkin tidak mengenakan seragam resmi, tetapi langkah mereka nyata. Mereka hadir di sawah, di kebun, di balai penyuluhan, bahkan di rumah-rumah petani, untuk berbagi ilmu dan semangat.
Dalam kesederhanaan, mereka menggerakkan perubahan dari bawah—mewujudkan sistem penyuluhan yang lebih partisipatif, adaptif, dan berkelanjutan.PenutupPenyuluh swadaya adalah aset sosial yang tak ternilai bagi pertanian Indonesia.
Di tengah keterbatasan penyuluh ASN dan tantangan modernisasi pertanian, keberadaan mereka menjadi bukti bahwa semangat gotong royong masih hidup di pedesaan.
Maka, memperkuat dan mengembangkan penyuluh swadaya bukan sekadar urusan teknis, melainkan langkah strategis menuju kemandirian dan kedaulatan pangan nasional.
Dengan pengakuan, pembinaan, dan dukungan yang tepat, penyuluh swadaya akan terus menjadi ujung tombak kemajuan pertanian yang partisipatif dan berkelanjutan—bukan hanya di Lampung, tetapi juga di seluruh Indonesia. ***