Oleh: Dr. Ir., Melya Riniarti, S.P., M.Si., IPU. Dosen Jurusan Kehutanan Unila dan Anggota Ikaperta Unila
INSTRUKSI Presiden Prabowo Subianto untuk menambah luasan kebun sawit Indonesia menandai komitmen pemerintah dalam memperkuat sektor strategis ini.
Sebagai penghasil devisa utama dan pilar ketahanan energi nasional melalui biodiesel, kelapa sawit memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.
Namun, ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali berpotensi mengancam keberlanjutan hutan tropis Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, luas lahan berhutan di Indonesia mencapai 95,5 juta hektare, atau 51,1% dari total daratan.
Namun, angka deforestasi netto tahun 2024 tercatat sebesar 175,4 ribu hektar, meningkat dari tahun sebelumnya .
Sebagian besar deforestasi bruto terjadi di hutan sekunder dengan luas 200,6 ribu hektare (92,8%), di mana 69,3% terjadi di dalam kawasan hutan.
Perluasan perkebunan sawit menjadi salah satu penyumbang signifikan terhadap deforestasi ini. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), sekitar 5,7 juta hektar hutan alam di hutan produksi konversi (HPK) berisiko dibuka untuk perkebunan sawit.
Selain itu, ekspansi sawit juga berkontribusi terhadap degradasi lahan gambut dan emisi gas rumah kaca yang signifikan.
Untuk menjembatani kebutuhan ekspansi sawit dengan pelestarian hutan, pendekatan agroforestry sawit dapat menjadi solusi yang efektif.
Agroforestry sawit adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan kelapa sawit dengan tanaman kehutanan atau pertanian lainnya dalam satu lahan.
Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan produktivitas lahan tetapi juga mempertahankan fungsi ekologis hutan.
Penelitian yang dilakukan oleh CIFOR (Center for International Forestry Research) menunjukkan bahwa agroforestry sawit dapat meningkatkan keanekaragaman hayati, memperbaiki kualitas tanah, dan mengurangi emisi karbon dibandingkan dengan sistem monokultur.
Selain itu, sistem ini juga memberikan diversifikasi pendapatan bagi petani, meningkatkan ketahanan ekonomi mereka.
Selain itu, agroforestry sawit dapat menjawab salah satu kritik terbesar terhadap ekspansi sawit monokultur yaitu hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss).
Dalam sistem monokultur, struktur vegetasi yang seragam menyebabkan habitat alami bagi satwa liar hilang.
Namun, agroforestry sawit memungkinkan restorasi sebagian habitat alami melalui peningkatan heterogenitas lanskap.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa agroforestry sawit dapat mempertahankan hingga 40–60% keanekaragaman spesies tumbuhan dan serangga yang biasa ditemukan di hutan sekunder.
Ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkebunan sawit monokultur yang hanya menyisakan kurang dari 15% keanekaragaman hayati hutan asal.
Jenis tanaman penyerta yang digunakan dalam agroforestry juga penting. Misalnya, menanam pohon buah lokal atau pohon penghasil pakan burung dapat menarik kembali spesies burung, lebah penyerbuk, dan hewan kecil lainnya.
Ini penting dalam memulihkan fungsi ekologis seperti penyerbukan, pengendalian hama alami, dan daur hara.Selain dari sisi keanekaragaman hayati, agroforestry sawit juga memiliki keunggulan signifikan dalam penyerapan karbon.
Monokultur sawit memiliki kapasitas simpan karbon sekitar 40–60 ton karbon per hektar, tergantung usia tanaman dan pengelolaan.
Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak, agroforestry sawit dengan kombinasi pohon berkayu dapat meningkatkan simpanan karbon hingga 80–120 ton per hektar dalam 20 tahun siklus tanam.
Hal ini disebabkan oleh kontribusi pohon kehutanan yang memiliki biomassa lebih besar dan sistem perakaran yang lebih dalam.
Sistem akar dalam juga membantu meningkatkan kandungan karbon organik tanah (soil organic carbon), yang berfungsi sebagai penyangga iklim mikro dan meningkatkan kesuburan jangka panjang.
Agroforestry sawit juga berperan dalam mitigasi emisi karbon dari lahan gambut dan tanah mineral terdegradasi.
Dengan mencegah pembukaan hutan total dan mengintegrasikan tutupan vegetasi permanen, sistem ini mengurangi potensi emisi karbon yang biasanya dihasilkan dari konversi lahan.
Keunggulan agroforestry sawit bukan hanya pada aspek lingkungan, tetapi juga pada peningkatan ketahanan ekonomi petani.
Sistem ini memberi diversifikasi sumber pendapatan, sehingga petani tidak hanya mengandalkan tandan buah segar sawit, tetapi juga dapat memperoleh hasil dari kayu, buah, tanaman obat, maupun hasil hutan bukan kayu lainnya.
Dalam konteks perubahan iklim dan degradasi lahan, sistem agroforestry juga lebih tahan terhadap cuaca ekstrem seperti kekeringan atau hujan lebat karena struktur vegetasinya yang lebih kompleks mampu menahan air lebih lama dan mengurangi erosi tanah.
Meskipun agroforestry sawit menawarkan banyak manfaat, implementasinya di lapangan menghadapi beberapa tantangan.
Kurangnya pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengelola sistem agroforestry, keterbatasan akses terhadap pasar untuk produk non-sawit, serta kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung menjadi hambatan utama.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga penelitian, dan sektor swasta.
Pemerintah dapat menyediakan pelatihan dan pendampingan teknis bagi petani, serta menciptakan insentif untuk adopsi sistem agroforestry.
Lembaga penelitian dapat mengembangkan teknologi dan praktik terbaik yang sesuai dengan kondisi lokal.
Sektor swasta dapat membantu dalam menciptakan rantai nilai yang inklusif untuk produk agroforestry.
Ekspansi perkebunan sawit merupakan kebutuhan strategis bagi Indonesia, namun harus dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.
Agroforestry sawit menawarkan jalan tengah yang memungkinkan peningkatan produksi sawit tanpa mengorbankan hutan.
Dengan dukungan kebijakan yang tepat dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan, agroforestry sawit dapat menjadi pilar utama dalam pembangunan pertanian berkelanjutan di Indonesia. ***