OLeh: M. Syanda Giantara Ali K.M, S.P., M.P Alumi Magister Agronomi Universitas Lampung, Anggota IKAPERTA UNILA
Indonesia, negeri agraris yang selalu didambakan sumber daya alamnya oleh para negeri asing. Tanah subur, hasil melimpah, Faktanya… Tapi lihat ke kebun, siapa yang masih bertani? Sawah makin kosong, ladang berubah jadi perumahan, dan anak-anak muda lebih sibuk mengejar kursi di kantor daripada turun ke sawah.
Bukan tanpa alasan. Gaji petani cenderung tidak stabil, gengsi sosial masih tinggi apalagi di tataran generasi milenial ke atas, dan tidak sedikit yang memiliki pemikiran untuk apa capek-capek berkotor-kotoran kalau bisa duduk nyaman di ruang ber-AC dengan pendapatan yang cenderung stabil?
Sarjana pertanian dulu belajar tentang tanah, pupuk, serangga dan tanaman. Tapi setelah lulus, banyak yang lebih akrab dengan spreadsheet, laporan keuangan, deadline mega proyek, staf ahli senior dan terjun ke ranah politik. Salahkah?
Persepsi para orang tua dahulu, bertani itu pekerjaan mulia. Sekarang? Banyak yang justru melarang anaknya jadi petani karena dianggap tidak punya masa depan. Malah bukan cerita yang aneh mendengar orang tua menjual lahan sawah dan kebun untuk biaya anak kuliah atau untuk keperluan menari kerja di kota besar.
Fakta menunjukkan bahwa hanya 8% generasi muda di bawah 35 tahun yang masih terlibat di lahan pertanian【Bangda Kemendagri, 2023】. Sisanya? Lebih memilih bekerja di kantor, baik sebagai PNS, pegawai swasta, atau pegawai BUMN.
Kenapa? Karena ketika dihitung-hitung, penghasilan seorang pegawai lebih jelas dan lebih stabil dibanding jadi petani tradisional.
Gaji PNS Golongan III → Rp 2,5 -3 juta, belum termasuk tunjangan【BKN, 2024】.
Rata-rata gaji pegawai swasta → Rp 2,92-3,5 juta/bulan【BPS, 2023】.
Gaji pegawai BUMN → Staf biasa bisa Rp 5-8 juta/bulan, bahkan level atas bisa puluhan juta.
Petani Milenial → Umumnya Rp 2-3 juta/bulan, Kalau inovatif, bisa Rp 8-15juta/bulan dari urban farming, namun jumlahnya tidak banyak rata-rata masih bertumpu pada cara konvensional【Sumatera Ekspres, 2024】.
Pilihan antara ladang atau kantor bukan sekadar masalah passion, tapi juga perhitungan realistis tentang penghidupan dan kestabilan ekonomi keluarga.
Setiap tahun, ribuan mahasiswa lulus dari fakultas pertanian. Tapi berapa yang benar-benar terjun ke sawah? Banyak yang lebih memilih bekerja di perbankan, industri, bahkan bidang yang tidak ada hubungannya sama pertanian. Alasan mereka sederhana:
Pendapatan petani tidak pasti, tidak ada jaminan gaji tiap bulan. Pendapat umum yang selalu digoreng di pasaran bertani masih dianggap sebagai “pekerjaan kelas bawah.”Orang tua lebih bangga lihat anaknya pakai kemeja rapi di kantor daripada pakai sepatu boots di sawah, dan mahasiswa melihat orang yang paling dekat dengan mereka para dosen yang memberikan ilmu bertahun-tahun sebagian besar bukanlah petani.
Persepsi umum tersebutlah yang membuat anak-anak pertanian lebih memilih masuk ke sistem—bukan karena tidak peduli pertanian, tapi karena merasa lebih bisa berkontribusi lewat jalur lain.
Di negeri agraris, pertanian tidak cuma butuh petani. Kita butuh yang nyangkul di sawah, tapi kita juga butuh yang nyangkul di kebijakan.
Yang satu buka lahan, yang satu buka spreadsheet.
Yang satu nanam padi, yang satu bikin regulasi kebijakan pertanian.
Yang satu jualan di pasar, yang satu bikin platform agritech.
Mau pakai cangkul atau laptop, dua-duanya bisa berkontribusi.
PNS di Dinas Pertanian → Bisa bantu petani lewat regulasi, penyuluhan, atau pendanaan.
Bekerja di Startup Agritech → Bantu petani naik kelas lewat digitalisasi pertanian.
Menjadi Peneliti atau Akademisi → Mengembangkan teknologi pertanian buat masa depan.
Buka Usaha Agribisnis → Bisa tetap kerja kantoran tapi juga punya bisnis pertanian.
Selama masih ada kepedulian terhadap sektor pertanian, Posisi kita yag di kantor tidak membuat kita menjadi “pengkhianat pertanian.” Bagaimana kita bisa cerdas berbagi ide dan menempatkan diri dengan baik untuk membantu pertanian tetap eksis dalam gempuran sektor-sektor lain.
Bertani itu tidak harus selalu turun ke sawah atau kebun. Ada yang berkeringat di ladang, ada yang bekerja di sistem. Tapi, kalau semua anak pertanian lebih memilih laptop daripada cangkul, siapa yang mau menanam? Oleh sebab itu perlunya kita yang berada disitem dan memangku kebijakan menjadi support sistem rekan-rekan kita yang masih bertahan dan berani mengambil resiko turun ke sawah dan kebun.
Karena faktanya, nasi di piring kita tidak tumbuh dari laporan keuangan. Kopi yang kita seruput tiap pagi bukan hasil dari rapat evaluasi. Oksigen yang kita hirup mungkin bahkan numpang dari tanaman tetangga. Kalau negeri ini hanya melahirkan pegawai tapi kekurangan petani, kita cuma akan jadi negara agraris di atas kertas. Petani, PNS, pegawai swasta, politikus, atau pengusaha—yang penting jangan lupa akar kita “Pertanian Satu, Pertanian Jaya”.
Karena di ujung hari, kita semua masih butuh makan. ***