Sabtu, 01 Nov 2025
Rabu, 24 Sep 2025

Hari Tani?


OLeh: Ilham Mendrofa, pedagang pupuk

Petani bukan sekadar profesi, ia adalah cara hidup yang membentuk peradaban. Clifford Geertz

Apa yang ada di benak kita ketika mendengar ucapan “Selamat Hari Tani”? Apakah itu sekadar rangkaian kata yang beredar di media sosial, atau sebuah pengingat tentang akar kehidupan yang tak pernah benar-benar kita pahami?

Di sebuah desa di Tapanuli Selatan, Pak Siahaan mungkin sudah sejak subuh menoreh karet di kebun. Tangannya lengket oleh getah, punggungnya basah oleh keringat. Ia mungkin tak peduli pada ucapan-ucapan formal itu.

Sebab baginya, hari hanyalah siklus kerja yang sama: menoreh, menunggu, menjual—dan berdoa agar harga tidak anjlok di pasar. Hari Tani, lalu, untuk siapa? Untuk mengenang penderitaan petani, atau untuk menjaga asa agar mereka tidak terus terhimpit oleh sejarah yang berulang?

Pada mulanya, bertani bukanlah profesi. Itu adalah cara hidup, cara bertahan. Nenek moyang kita hidup berpindah, berpadu dengan musim, menanam, memanen, lalu bergerak lagi. Alam adalah ruang bersama, bukan sekadar objek kepemilikan.

Namun, segalanya berubah. Lahan mulai disebut penguasaan. Modal menjadi pembeda antara yang sejahtera dan yang melarat.

Teknologi datang, tetapi tak semua bisa mengaksesnya. Pasar hadir, memisahkan kita menjadi konsumen dan produsen. Kota menjulang, desa tersisa sebagai penyangga pangan. Dari sana, lahirlah “petani” sebagai profesi. Sebuah kata yang—ironisnya—sering dilekatkan pada stigma: miskin, kotor, tertinggal.

Lebih ironis lagi, negara kerap menjadikan petani sebagai bahan fantasi. Mereka dipaksa swasembada, diminta berproduksi berlebih demi kedaulatan pangan.

Tapi siapa yang menikmati hasilnya? Siapa yang sesungguhnya memanen keuntungan? Petani sering kali hanya menjadi subjek dari mimpi yang bukan mereka rancang. Dalam sistem yang timpang, mereka diminta berlari dalam lintasan yang tak adil.

Padahal, sejarah punya banyak teladan. Lihatlah Subak di Bali—sistem irigasi tradisional yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia. Ia bukan hanya soal padi, melainkan soal harmoni: manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan semesta.

Begitu pula Leuit di Sukabumi—lumbung padi yang bukan sekadar gudang, tetapi simbol kearifan bersama. Sistem-sistem itu membuktikan bahwa pertanian tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu hadir sebagai kebudayaan.

Namun, realitas kita hari ini jauh dari warisan itu. Ada terlalu banyak luka yang menumpuk. Riset Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang 2023 terjadi 241 konflik agraria dengan luasan lebih dari 500 ribu hektare.

Petani sering menjadi korban. Sistem irigasi yang rusak membuat produktivitas sawah menurun—Kementerian PUPR mengakui lebih dari separuh jaringan irigasi di Indonesia perlu rehabilitasi. Kesuburan tanah makin merosot akibat penggunaan pupuk kimia berlebih.

FAO memperkirakan, degradasi tanah mengancam 30% lahan pertanian di negeri ini. Benih pun dikuasai korporasi, membuat kedaulatan benih rakyat nyaris lenyap. Badan Pangan Nasional mencatat kehilangan hasil panen (losses) padi mencapai 10–12%. Artinya, dari setiap 10 ton gabah, setidaknya 1 ton hilang sia-sia. Dan rantai distribusi yang panjang membuat harga di tingkat petani ditekan, sementara di pasar kota melambung.

Di titik ini, ucapan “Selamat Hari Tani” terdengar getir. Kepada siapa kita ucapkan selamat? Kepada petani yang hidupnya kian sulit, atau kepada kita yang telah melupakan mereka? Pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana kita memastikan negara benar-benar berpihak.

Bagaimana pemerintah dan parlemen tak sekadar menjadikan petani jargon politik? Petani butuh akses lahan yang adil, sistem air yang baik, tanah yang sehat, benih yang berdaulat, distribusi yang adil, dan harga yang layak. Tanpa itu, semua ucapan hanyalah basa-basi.

Hari Tani seharusnya menjadi hari untuk mengingat bahwa bangsa ini berdiri di atas cangkul petani. Bahwa nasi yang kita kunyah, kopi yang kita seruput, hingga gula dalam teh pagi kita—semua lahir dari tangan yang sering tak terlihat.

Bersatu adalah kata yang kadang terdengar klise, tetapi sejarah menunjukkan bahwa perubahan selalu lahir dari kebersamaan. Dari tani, untuk negeri.

“Jika pertanian runtuh, negeri ini akan kehilangan jiwa. Maka, jangan pernah berhenti menanam, sebab menanam adalah menanam harapan.”

Jatibening, 24 September 2025.

Tuliskan komtar mu disini
Tulisan Lainnya...