Oleh Intan Fajar Suri, S.Hut., M.Sc. Dosen Jurusan Kehutanan Unila dan Anggota Ikaperta Unila
Krisis bahan baku kayu kini menjadi tantangan serius bagi industri perkayuan di Indonesia. Di satu sisi, kebutuhan akan produk kayu olahan terus meningkat seiring pembangunan infrastruktur, perumahan, dan furnitur.
Namun di sisi lain, pasokan kayu dari hutan alam kian menipis akibat pembatasan penebangan serta degradasi lingkungan. Pertanyaannya, bagaimana industri kayu bisa bertahan tanpa mengorbankan keberlanjutan hutan? Jawabannya mungkin ada di sekitar kita: hutan rakyat dan bambu.
Papan partikel merupakan produk kayu komposit yang dibuat dari partikel kayu atau bahan berlignoselulosa lain, yang diikat dengan perekat sintetis maupun organik.
Teknologi ini istimewa karena mampu mengolah bahan baku yang sering dianggap rendah nilai, seperti kayu cepat tumbuh, kayu berkerapatan rendah, bahkan limbah industri kayu berupa serbuk gergajian.
Dengan sentuhan teknologi, bahan sederhana ini dapat diubah menjadi produk bernilai tinggi untuk berbagai keperluan: dari furnitur, panel dinding, hingga material konstruksi ringan.
Sejumlah penelitian telah membuktikan potensi kayu rakyat dalam pembuatan papan partikel menunjukkan bahwa kayu rakyat berkerapatan rendah hingga sedang dapat menghasilkan papan dengan sifat fisis dan mekanis yang cukup baik.
Artinya, kayu yang tumbuh di pekarangan atau kebun masyarakat, yang selama ini hanya digunakan sebagai kayu bakar atau bahan konstruksi sederhana, sebenarnya menyimpan peluang besar untuk menjadi bahan baku industri bernilai tambah.
Hutan rakyat di Indonesia tersebar luas, terutama di Pulau Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Jenis kayu seperti sengon, jabon, mahoni, atau cempaka sering ditanam oleh petani sebagai tabungan jangka panjang.
Namun, rendahnya kerapatan kayu ini membuatnya kurang diminati industri yang lebih suka kayu keras berkualitas tinggi. Padahal, teknologi papan partikel dapat mengubah keterbatasan ini menjadi keunggulan.
Jika dikelola dengan baik, hutan rakyat bukan hanya menyokong kebutuhan kayu dalam negeri, tetapi juga menumbuhkan ekonomi desa. Petani yang selama ini menjual kayu dengan harga murah bisa mendapatkan nilai lebih jika ada industri papan partikel di sekitar mereka.
Rantai nilai yang tercipta akan membuka lapangan kerja, memperkuat kemandirian ekonomi desa, sekaligus mengurangi tekanan terhadap hutan alam.
Selain kayu rakyat, ada satu sumber daya lain yang berlimpah di negeri ini: bambu. Indonesia memiliki sekitar 160 jenis bambu, termasuk 122 jenis endemik yang tidak ditemukan di negara lain. Dari dataran rendah hingga pegunungan, bambu tumbuh subur dan mudah ditemui di pedesaan.
Keunggulan utamanya adalah pertumbuhan cepat—dalam tiga hingga lima tahun sudah bisa dipanen—serta sifat mekanis yang luar biasa, terutama keteguhan tariknya yang tinggi.
Penelitian membuktikan bahwa bambu mampu menghasilkan papan komposit dengan kualitas yang memenuhi standar internasional. Misalnya, papan untai berarah dari bambu dapat lolos standar Canadian Standards Association untuk mutu struktural.
Bahkan, papan partikel dari bambu betung terbukti kuat, stabil, dan memenuhi Standar Nasional Indonesia. Fakta ini menegaskan bahwa bambu bukan sekadar bahan bangunan tradisional atau kerajinan tangan, tetapi juga calon bintang baru dalam industri modern.
Ketersediaan bahan baku kayu selalu menjadi isu sensitif bagi industri perkayuan nasional. Ketergantungan pada hutan alam tidak lagi realistis karena selain terbatas, eksploitasi berlebihan berpotensi memperparah krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, diversifikasi bahan baku adalah jalan keluar yang mendesak.
Hutan rakyat dan bambu bisa menjadi jawaban. Dari sisi ekonomi, keduanya relatif murah, mudah diperoleh, dan dapat dibudidayakan secara massal.
Dari sisi lingkungan, pemanfaatannya mendorong prinsip keberlanjutan: hutan rakyat mampu meningkatkan tutupan hijau dan serapan karbon, sementara bambu dikenal sebagai salah satu tanaman dengan kemampuan penyerapan CO₂ tertinggi.
Dengan kata lain, mengembangkan papan partikel berbasis kayu rakyat dan bambu bukan sekadar strategi bisnis, melainkan langkah strategis menuju ekonomi hijau yang ramah lingkungan.
Namun, harapan ini tentu tidak datang tanpa tantangan. Pertama, dari sisi teknologi, kualitas papan partikel sangat dipengaruhi oleh jenis perekat yang digunakan. Perekat sintetis berbasis formaldehida memang kuat, tetapi berpotensi menimbulkan masalah kesehatan dan lingkungan.
Oleh karena itu, riset menuju perekat organik yang lebih ramah lingkungan sangat mendesak.
Kedua, masalah kontinuitas pasokan. Hutan rakyat dan bambu memang melimpah, tetapi tanpa tata kelola yang baik, pasokan bisa tidak stabil. Dibutuhkan sistem kemitraan antara petani, koperasi, dan industri untuk memastikan rantai pasok berjalan lancar.
Ketiga, aspek kebijakan. Pemerintah perlu memberi insentif dan regulasi yang mendukung tumbuhnya industri papan komposit berbasis sumber daya lokal. Misalnya, melalui akses pembiayaan, dukungan riset, hingga promosi ekspor.
Jika tantangan ini dapat diatasi, dampak ekonominya sangat besar. Industri papan partikel berbasis kayu rakyat dan bambu berpotensi menyerap ribuan tenaga kerja di pedesaan, meningkatkan pendapatan petani, dan mengurangi ketergantungan pada impor kayu.
Lebih jauh lagi, produk berbasis bambu dan kayu rakyat dapat dipasarkan ke negara-negara yang mulai beralih ke material ramah lingkungan.
Dengan citra sebagai produk hijau, papan partikel Indonesia bisa memasuki pasar internasional yang semakin menuntut keberlanjutan.
Uni Eropa, misalnya, kini sangat ketat dalam memberi label pada produk berbasis kayu. Jika Indonesia bisa menunjukkan bahwa produknya berasal dari hutan rakyat dan bambu yang lestari, peluang ekspor terbuka lebar.
Pada akhirnya, isu papan partikel dari kayu rakyat dan bambu bukan sekadar tentang teknologi bahan, melainkan tentang visi masa depan.
Apakah Indonesia ingin terus bergantung pada eksploitasi hutan alam yang menyisakan kerusakan ekologis, atau beralih pada bahan baku yang lebih lestari dan berbasis masyarakat?
Kayu rakyat dan bambu adalah simbol harapan. Keduanya tumbuh di desa, dekat dengan kehidupan rakyat kecil, dan seringkali dianggap remeh. Namun, jika diberi nilai tambah melalui teknologi papan partikel, mereka bisa menjadi penopang industri sekaligus penyelamat lingkungan.
Mungkin inilah saat yang tepat untuk menyadari bahwa solusi besar sering kali berawal dari hal-hal sederhana di sekitar kita. Di tengah krisis kayu global, Indonesia sebenarnya tidak kekurangan bahan baku—yang kurang adalah kemauan untuk mengangkat potensi lokal menjadi kekuatan nasional.
Industri papan partikel Indonesia sedang berdiri di persimpangan jalan. Di satu arah, ada ketergantungan pada kayu hutan alam yang kian tergerus. Di arah lain, terbuka peluang besar memanfaatkan kayu rakyat dan bambu yang lestari, ekonomis, dan ramah lingkungan.
Pilihan ini bukan sekadar soal bahan baku, tetapi tentang masa depan: masa depan industri kayu, masa depan petani desa, dan masa depan lingkungan kita. Jika langkah tepat segera diambil, kayu rakyat dan bambu bisa menjadi tonggak baru ekonomi hijau Indonesia—dari desa untuk dunia. ***