Jumat, 31 Okt 2025
Senin, 29 Sep 2025

Kebijakan Intervensi Pasar untuk Perlindungan dan Stabilitas Pangan (Kasus Komoditas Jagung)

Oleh: Teguh Endaryanto, Akademisi Universitas Lampung, Ketua Perhepi Lampung, Pengurus ASASI, IKAPERTA

JAGUNG merupakan salah satu komoditas pangan strategis di Indonesia, selain beras dan kedelai. Perannya tidak hanya sebagai bahan pangan pokok di sejumlah wilayah, tetapi terutama sebagai bahan baku utama pakan ternak unggas.

Lebih dari 60% bahan baku pakan unggas nasional berasal dari jagung, sehingga stabilitas harga jagung berimplikasi langsung terhadap biaya produksi ayam pedaging dan petelur.

Namun, harga jagung di tingkat petani sering kali berfluktuasi tajam. Pada saat panen raya, harga bisa jatuh ke Rp 3.150–3.600/kg, jauh di bawah biaya produksi.

Dalam situasi inilah, pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas, 2025) menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp 5.500/kg pada 2025. Kebijakan ini dimaksudkan sebagai instrumen intervensi pasar untuk melindungi petani sekaligus menjaga pasokan pakan bagi peternak.

Artikel ini mengulas teori dan konsep intervensi pasar, realitas tata niaga jagung di Lampung sebagai salah satu provinsi penghasil utama, perbandingan dengan negara lain, serta tantangan dan rekomendasi kebijakan ke depan.

Kebijakan Harga Dasar, Subsidi Distribusi dan Transaction Cost Economics, Rantai Pasok, Buffer Stock

Kebijakan harga dasar (price support policy) merupakan salah satu instrumen klasik pemerintah untuk menstabilkan pasar sekaligus melindungi produsen. Ellis (1992) menjelaskan bahwa kebijakan ini berfungsi sebagai floor price atau harga dasar yang tidak boleh dilampaui ke bawah.

Dengan adanya harga dasar, petani memiliki jaminan bahwa hasil panennya tidak akan dibeli di bawah titik tertentu, meskipun kondisi pasar sedang mengalami kelebihan pasokan.

Hal ini penting, karena petani termasuk kelompok produsen yang paling rentan terhadap fluktuasi harga akibat sifat produk pertanian yang mudah rusak (perishable) dan tergantung musim. Timmer (1989) memperluas perspektif dengan menekankan bahwa kebijakan harga pangan tidak hanya menyangkut perlindungan petani, tetapi juga menjaga kepentingan konsumen.

Jika harga pangan terlalu fluktuatif, konsumen akan mengalami lonjakan inflasi yang memengaruhi stabilitas sosial-ekonomi.

Oleh karena itu, kebijakan harga dasar harus diletakkan dalam kerangka ganda: memberikan insentif produksi bagi petani dan menjaga keterjangkauan harga bagi konsumen.

Intervensi harga yang tepat menjadi bagian dari strategi ketahanan pangan nasional, karena tanpa insentif produksi, pasokan akan melemah, sementara tanpa stabilitas harga, daya beli masyarakat akan terganggu.

Dalam praktiknya, intervensi harga sering diiringi dengan subsidi distribusi. Konsep ini dapat dijelaskan melalui teori transaction cost economics (Coase, 1937; Williamson, 1985).

Rantai pasok pertanian biasanya melibatkan biaya-biaya transaksi tinggi seperti ongkos transportasi, pengeringan, penyimpanan, hingga biaya negosiasi dengan pembeli. Biaya ini menyebabkan harga bersih yang diterima petani jauh lebih rendah dibanding harga pasar akhir.

Dengan menanggung sebagian biaya distribusi tersebut, pemerintah tidak hanya menaikkan pendapatan bersih petani, tetapi juga meningkatkan efisiensi pasar. Subsidi distribusi menjembatani kesenjangan antara harga yang ditetapkan pemerintah (HPP) dan realita pasar di lapangan.

Selain itu, konsep buffer stock (Srinivasan, 1989) menegaskan pentingnya peran lembaga publik sebagai penyangga pasar. Melalui mekanisme buffer stock, pemerintah membeli komoditas ketika harga jatuh untuk mencegah kerugian petani, dan menjual stok ketika harga melonjak guna melindungi konsumen.

Di Indonesia, peran ini diemban Bulog, termasuk pada komoditas jagung dengan HPP Rp 5.500/kg. Dengan skema ini, Bulog bertindak sebagai pengendali fluktuasi harga, meskipun kapasitas operasional di daerah seperti Lampung masih terbatas.

Dengan demikian, kombinasi kebijakan harga dasar, subsidi distribusi, dan buffer stock mencerminkan tiga pilar utama intervensi pemerintah dalam pasar pangan.

Namun, efektivitasnya sangat ditentukan oleh kapasitas kelembagaan, efisiensi logistik, dan ketersediaan anggaran. Tanpa dukungan faktor-faktor tersebut, kebijakan harga hanya bersifat simbolis dan tidak mampu menjawab permasalahan struktural yang dihadapi petani dan konsumen.

Lampung merupakan salah satu provinsi sentra jagung nasional yang berperan penting dalam menjaga ketahanan pangan dan pasokan bahan baku pakan ternak. Data BPS (2025) mencatat bahwa produksi jagung pipilan kering di Lampung pada tahun 2024 mencapai 1.107.739 ton, relatif stabil sejak 2019 dengan kisaran 1,0–1,1 juta ton per tahun.

Empat kabupaten utama penyumbang produksi adalah Lampung Tengah, Lampung Timur, Way Kanan, dan Lampung Selatan.

Stabilitas ini menunjukkan bahwa Lampung memiliki kapasitas produksi yang cukup kuat, meski faktor eksternal seperti iklim, serangan hama, dan keterbatasan lahan tetap menjadi tantangan.

Di balik capaian produksi tersebut, tata niaga jagung di Lampung memperlihatkan ketergantungan besar pada sektor swasta. Perusahaan pakan besar seperti Charoen Pokphand, Japfa, CJ CheilJedang, dan New Hope menyerap volume jagung yang signifikan.

Data SIJAGUNG (2024) mencatat pembelian oleh pabrik pakan di Lampung mencapai ratusan ribu ton pada triwulan pertama 2024, sehingga dominasi perusahaan ini dalam tata niaga Lampung sangat kuat.

Meskipun tidak ada angka resmi mengenai persentase pasti, pabrik pakan besar diduga menguasai lebih dari separuh aliran jagung dari petani, ditambah pengumpul lokal dan perusahaan kecil diperkirakan masih menyerap sebagian produksi, sekitar 20–30%, meskipun angka ini bersifat estimatif.

Studi pemasaran jagung di beberapa daerah (Wiratani, 2020; JRKTL, 2021) menunjukkan bahwa peran pengumpul sebagai jembatan antara petani kecil dan pasar sangat dominan, meskipun kapasitas modal, gudang, dan teknologi mereka terbatas, pengumpul memiliki peran penting dalam menjangkau petani kecil di wilayah pedesaan, tetapi keterbatasan modal, kapasitas gudang, dan teknologi pascapanen membuat daya serap mereka terbatas.

Akibatnya, posisi tawar petani kecil terhadap pasar masih lemah, karena mereka sangat bergantung pada jaringan pengumpul lokal dengan harga yang fluktuatif.

Hingga pertengahan Mei 2025, serapan jagung oleh Bulog Lampung baru mencapai 19 ribu ton, yang merupakan 24 persen dari target tahunan 78 ribu ton.

Fakta ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah melalui mekanisme HPP dan serapan Bulog lebih bersifat simbolis daripada struktural. Dengan dominasi swasta yang begitu besar, upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga melalui Bulog sulit berdampak luas kecuali kapasitas kelembagaan dan infrastruktur ditingkatkan secara signifikan.

Tantangan Implementasi HPP

Implementasi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) jagung di Lampung menghadapi sejumlah tantangan struktural. Keterbatasan kapasitas Bulog menjadi masalah utama, karena fasilitas pengeringan dan silo yang dimiliki belum mampu menyerap volume jagung dalam skala besar.

Akibatnya, ketika panen raya tiba, Bulog hanya bisa membeli sebagian kecil hasil produksi, sementara sisanya tetap bergantung pada mekanisme pasar. Kondisi ini diperparah oleh disparitas harga antarwilayah: harga jagung di Lampung pada saat panen raya kerap jatuh di bawah HPP, sedangkan di daerah konsumsi besar seperti Jawa harga bisa jauh lebih tinggi. Perbedaan ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam distribusi dan mengurangi efektivitas kebijakan harga.

Selain itu, biaya logistik yang tinggi, terutama di segmen first–last mile dari desa ke gudang, membuat margin petani semakin tergerus. Bagi petani kecil, ongkos angkut bisa mencapai porsi signifikan dari harga jual, sehingga harga riil yang diterima tetap rendah meskipun pemerintah menetapkan HPP.

Di sisi lain, dominasi perusahaan pakan besar semakin memperlemah posisi tawar petani kecil. Perusahaan dengan fasilitas dryer dan silo modern mampu menentukan harga dan volume pembelian sesuai kebutuhan, sementara petani tidak memiliki banyak alternatif pembeli. Dalam kondisi ini, kehadiran HPP akan sulit dirasakan manfaatnya tanpa penyerapan signifikan dari Bulog.

Di luar persoalan teknis, kebijakan HPP juga membawa risiko distorsi pasar. Jika intervensi pemerintah berlangsung terlalu lama, pasar bisa kehilangan mekanisme penyesuaian alaminya dan petani maupun peternak menjadi terlalu bergantung pada subsidi. Hal ini berpotensi melemahkan daya saing jagung domestik dalam jangka panjang.

Oleh karena itu, intervensi harga sebaiknya ditempatkan sebagai instrumen stabilisasi jangka pendek, sembari pemerintah memperbaiki infrastruktur logistik, memperkuat kelembagaan petani, dan menciptakan pasar yang lebih adil dan efisien.

Dalam perspektif internasional, berbagai negara memiliki pendekatan berbeda dalam melindungi petani jagung. India misalnya menetapkan Minimum Support Price (MSP) untuk jagung, namun realisasi serapan pemerintah relatif rendah sehingga manfaatnya tidak merata di tingkat petani (Goyal, 2019, AEJ Applied Economics).

Thailand pernah melaksanakan rice pledging scheme yang juga mencakup komoditas lain; kebijakan ini sempat berhasil meningkatkan pendapatan petani, tetapi pada akhirnya menimbulkan beban fiskal besar karena pemerintah harus menanggung selisih harga dalam jumlah sangat besar (Poapongsakorn, 2010).

Vietnam mengambil pendekatan berbeda dengan lebih menekankan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan investasi di sektor pascapanen daripada intervensi harga langsung (Tran et al., 2021).

Pelajaran dari perbandingan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan harga dasar memang bermanfaat sebagai perlindungan jangka pendek bagi petani ketika harga jatuh, tetapi keberlanjutannya sering dipertanyakan.

Faktor yang lebih menentukan keberhasilan jangka panjang adalah penguatan infrastruktur rantai pasok, mulai dari fasilitas pengeringan, penyimpanan, hingga distribusi yang efisien.

Dengan demikian, kebijakan intervensi harga sebaiknya dipandang sebagai instrumen stabilisasi sementara, sementara fokus utama diarahkan pada pembangunan sistem agribisnis yang tangguh dan berdaya saing.

Implikasi Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, kebijakan intervensi harga jagung membawa konsekuensi besar baik bagi fiskal maupun dinamika pasar. Dari sisi fiskal, alokasi Rp 78 miliar untuk menyalurkan 52.400 ton setara dengan subsidi sekitar Rp 1.488 per kilogram.

Jika skema serupa diterapkan pada total produksi Lampung yang mencapai 1,1 juta ton, kebutuhan anggaran bisa melonjak hingga sekitar Rp 1,6 triliun. Angka ini jelas akan menjadi beban berat bagi APBN apabila dijalankan secara berkelanjutan.

Dari perspektif pasar, intervensi yang terlalu dominan juga menimbulkan risiko crowding out, yaitu berkurangnya peran swasta dalam tata niaga jagung karena tidak mampu bersaing dengan harga yang disubsidi pemerintah.

Hal ini berpotensi menciptakan ketergantungan jangka panjang terhadap campur tangan negara.Bagi petani, adanya HPP memberikan kepastian harga dan melindungi dari anjloknya harga saat panen raya, tetapi manfaat tersebut hanya akan nyata jika volume serapan pemerintah cukup besar.

Tanpa penyerapan signifikan, HPP hanya menjadi harga referensi yang sulit diwujudkan di lapangan. Bagi peternak, subsidi distribusi memang membantu menekan biaya pakan, namun skema ini rawan menimbulkan guncangan apabila subsidi dihentikan mendadak.

Selain itu, daya saing jagung Indonesia masih menjadi persoalan penting. Harga jagung domestik relatif tinggi dibanding negara pesaing seperti Vietnam dan Thailand, sehingga ekspor kurang kompetitif.

Jika tidak dibarengi upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi rantai pasok, intervensi harga justru bisa menurunkan daya saing jagung Indonesia di pasar regional maupun global.

Rekomendasi Kebijakan

Untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan petani dan efisiensi pasar, kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebaiknya diposisikan sebagai jaring pengaman (safety net), bukan harga tetap yang mengikat secara kaku.

Dengan demikian, HPP hanya diaktifkan ketika harga pasar jatuh di bawah tingkat yang merugikan petani, sementara pada kondisi normal mekanisme pasar tetap berjalan.

Pendekatan ini akan mengurangi risiko distorsi harga sekaligus tetap memberikan rasa aman bagi petani dalam menghadapi fluktuasi musiman.Di sisi lain, peningkatan infrastruktur pascapanen harus menjadi prioritas.

Penyediaan dryer, silo, dan gudang modern tidak hanya membantu menjaga mutu jagung, tetapi juga memperpanjang daya simpan sehingga petani tidak terpaksa menjual murah saat panen raya.

Pemerintah juga dapat mendorong kemitraan antara petani dan perusahaan swasta melalui skema contract farming. Dengan kontrak yang adil, petani mendapatkan jaminan pasar dan harga, sementara swasta memperoleh kepastian pasokan.

Kemitraan semacam ini dapat mengurangi ketergantungan petani pada pengumpul lokal yang sering menekan harga.

Selain itu, penggunaan anggaran subsidi seperti Rp 78 miliar untuk distribusi harus dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas publik. Laporan penyerapan, sasaran penerima, dan efektivitas kebijakan perlu dipublikasikan secara berkala agar kepercayaan publik terjaga.

Terakhir, kebijakan sebaiknya didesain adaptif antarwilayah, karena biaya logistik dan dinamika harga jagung di Lampung tentu berbeda dengan di Jawa atau Sulawesi.

Dengan pendekatan yang lebih kontekstual, kebijakan HPP dan distribusi jagung dapat memberikan perlindungan yang nyata bagi petani tanpa menimbulkan beban berlebihan pada fiskal maupun pasar.

Kesimpulan

Kebijakan HPP jagung Rp 5.500/kg adalah langkah penting untuk melindungi petani dari harga rendah dan menjaga pasokan pakan bagi peternak.

Namun, di Lampung—sebagai salah satu sentra produksi—realitas menunjukkan bahwa peran Bulog masih sangat kecil dibanding perusahaan swasta besar.

Kebijakan ini efektif sebagai instrumen perlindungan jangka pendek, tetapi tidak cukup untuk mengatur pasar secara struktural.

Untuk keberlanjutan, pemerintah perlu memperkuat infrastruktur, efisiensi logistik, dan integrasi rantai pasok. Dengan demikian, intervensi harga tidak sekadar simbolis, tetapi menjadi bagian dari strategi jangka panjang menuju stabilitas pangan nasional. ***

Referensi

ANTARA News. (2024). “Bulog Lampung targetkan serap 5.000 ton jagung.”Badan Pangan Nasional (Bapanas). (2024–2025). Panel Harga Pangan Nasional. https://panelharga.bapanas.go.id.Badan Pangan Nasional (Bapanas). (2025). Rilis Resmi Penetapan HPP Jagung Rp 5.500/kg. Jakarta: Bapanas.Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung. (2025). Statistik Jagung Provinsi Lampung 2024. Bandar Lampung: BPS Provinsi Lampung.Bulog Lampung. (2024). Laporan Target dan Realisasi Serapan Jagung 2024. Bandar Lampung: Bulog Divre Lampung.Coase, R. H. (1937). The Nature of the Firm. Economica, 4(16), 386–405.Darodjat, D., et al. (2023). “Subsidi Pertanian dan Keberlanjutan Pangan.” Jurnal Fokus Bisnis, Vol. 22(2). [Sinta 2].Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH). (2024). SIJAGUNG – Sistem Informasi Jagung untuk Pakan. Jakarta: Kementerian Pertanian.Ellis, F. (1992). Agricultural Policies in Developing Countries. Cambridge University Press.Gereffi, G., & Fernandez-Stark, K. (2016). Global Value Chain Analysis: A Primer. Duke University.Goyal, A. (2019). “Welfare Effects of India’s Minimum Support Prices for Agriculture.” American Economic Journal: Applied Economics, 11(4), 1–34.Poapongsakorn, N. (2010). “The Political Economy of Thai Agricultural Price Policy.” Asian Journal of Agriculture and Development, 7(1), 1–28.Reardon, T., et al. (2019). “The Quiet Revolution in Staple Food Value Chains.” Global Food Security, 20, 1–10.SIJAGUNG (Ditjen PKH, Kementan 2024)Srinivasan, T. N. (1989). “Buffer Stock Models and Policies.” World Bank Economic Review, 3(1), 1–30.Timmer, C. P. (1989). Food Price Policy: The Rationale for Government Intervention. Food Policy, 14(1), 17–27.Tran, Q. H., et al. (2021). “Post-harvest Investment and Supply Chain Efficiency in Vietnam.” Journal of Agribusiness in Developing and Emerging Economies, 11(3), 275–292.Williamson, O. E. (1985). The Economic Institutions of Capitalism. Free Press.Wiratani, Jurnal Agribisnis Universitas Muslim Indonesia. (2020). “Analisis Sistem Pemasaran Komoditas Jagung Hibrida di Takalar.” Wiratani, Vol. 3(2). [Sinta 3].

Tuliskan komtar mu disini
Tulisan Lainnya...