Oleh: Novita S.P.Koordinator Wilayah Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia (JKTI) Lampung dan anggota Ikaperta Unila
KETAHANAN pangan desa adalah kemampuan suatu desa untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya secara mandiri dan berkelanjutan.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketersediaan, keterjangkauan, dan konsumsi pangan yang sehat, beragam, dan sesuai dengan kebutuhan lokal.
Program ini diterapkan di seluruh desa, dan dananya diambil dari 20% dana desa yang didapat setiap tahunnya. Program-program yang bisa diinisiasi dari kegiatan ini ada di sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan pengolahan hasil panen.
Untuk pengembangan sektor pertanian terdiri dari pengadaan alat pertanian seperti membantu petani dengan menyediakan alat-alat pertanian yang modern dan efisien untuk meningkatkan produktivitas lahan.
Lalu penyediaan pupuk dan pestisida organic, dengan melakukan sosialisasi dan praktik pembuatan yang lebih ramah lingkungan.
Serta peningkatan irigasi dan pengembangan lahan kas desa dengan memanfaatkan tanah kas desa untuk kegiatan pertanian yang produktif dan menghasilkan hasil panen untuk desa.
Perencanaan program ini sangat bagus dan tepat sasaran dengan kondisi sumber daya alam di Indonesia yang melimpah.
Apalagi pekerjaan di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menempati urutan pekerjaan utama masyarakat Indonesia sebesar 28,54%.
Tetapi bagaimana kenyataan di lapangan, apakah program ini berjalan seperti yang diharapkan?Agak sulit mengukur keberhasilan di setiap desa di seluruh Indonesia. Apalagi di Indonesia memiliki ± 75.000 desa.

Foto: Ibu-ibu belajar membuat pupuk organic padat difasilitasi oleh kelompok Pakogh Gila desa Paku Negara
Untuk melihat keberhasilan program tersebut salah satu cara dengan membuka data sistem informasi desa milik Kementrian Pedesaan yaitu https://sid.kemendesa.go.id/profile.
Dari situs itu kita bisa melihat keberhasilan program ketahanan pangan pada Sustainable Develompment Goals (SDG’s) nomor dua, yaitu desa tanpa kelaparan.
Tujuannya mengakhiri segala bentuk kelaparan, mencapai ketahanan pangan, memperbaiki nutrisi, dan mempromosikan pertanian berkelanjutan dengan target penurunan kurang gizi dan stunting menjadi 0%, peningkatan ASI eksklusif 100%, serta peningkatan produktivitas pertanian dan pendapatan petani skala kecil.
Ada 10 desa di Lampung yang masuk ke dalam situs tersebut, dengan kriteria merupakan desa yang memiliki sawah cukup luas.
Desa-desa tersebut adalah Desa Suka Marga dan Bumi Hantatai di Lampung Barat, Desa Paku Negara dan Way Sindi di Pesisir Barat, Desa Sukoharjo II dan Wanadadi Utara di Pringsewu, Palas Pasemah di Lampung Selatan, Karya Tani di Lampung Timur, Sumber Agung di Tulang Bawang dan Sidang Bandar Anom di Mesuji.
Dari 10 desa tersebut, hampir semua untuk program penurunan kurang gizi dan stunting serta peningkatan ASI eksklusif tercapai dengan skor 100%.
Tetapi untuk program peningkatan produktivitas pertanian dan pendapatan petani skala kecil 6 desa belum tercapai dengan skor 0%, sedangkan 4 desa yang lain Desa Suka Marga memiliki skor 12,5, desa Paku Negara memiliki skor 40%, Desa Suko Harjo II memiliki skor 25% dan Desa Sidang Bandar Anom memiliki skor 6,67%.
Hal ini menjadi pertanyaan besar. Mengapa belum berjalan? Biasanya banyak program tidak berjalan karena tidak ada dana. Tetapi ini sudah ada dana dan merupakan perintah langsung dari kemendes.
Tampaknya hal ini karena desa perlu didampingi untuk mewujudkan program-program yang dibutuhkan desa. Tidak semua aparat desa saat terpilih, dapat langsung bekerja dengan memahami tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Ada dari mereka yang kapasitasnya perlu ditingkatkan. Apalagi ada yang baru menjadi aparat desa.
Untuk membantu desa, Kemendes sudah menyiapkan tenaga pendamping bernama Tenaga Pendamping Desa Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (TPP P3MD), mulai dari provinsi hingga desa dengan tugas pendampingan perencanaa desa, pendampingan pelaksanaan pembangunan desa baik fisik maupun non fisik, pendampingan pengelolaan dana desa, penguatan kapasitas aparatur dan masyarakat desa, pendampingan partisipasi masyarakat, pendampingan pengembangan ekonomi desa serta monitoring dan evaluasi.
Walaupun jumlah TPP sebanyak ± 35.000 orang di seluruh Indonesia tidak sebanding dengan banyaknya desa di seluruh Indonesia ± 75.000 desa, tetapi instansi pemerintah kita memiliki juga tenaga penyuluh, perusahaan swasta juga punya pendamping masyarakat untuk program CSR dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga banyak bekerja mendampingi desa.
Dan pasti para pendamping sangat ingin melihat desa yang didampingi bisa maju dan sumber daya manusianya juga meningkat. Karena salah satu fungsi pendamping masyarakat adalah pemberdayaan dengan menguatkan kapasitas masyarakat desa agar mandiri, baik secara sosial, ekonomi, maupun kelembagaan.
Bukan hal yang tidak mungkin, kolaborasi ini bisa terjalin dan terbangun untuk untuk sama-sama membangun desa yang kita cintai. Walaupun setiap instansi dan lembaga memiliki cara yang berbeda, tetapi pasti nanti akan bertemu dengan irisan program yang bisa di kolaborasikan.
Untuk contoh, pendamping masyarakat dari Lembaga Swadaya Masyarakat,biasanya sebelum membuat program di desa terlebih dahulu melakukan Sustainable Livelihood Approach (SLA).
SLA ini melihat 5 modal yang dimiliki desa yaitu modal sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), finansial atau ekonomi, sosial dan fisik.
Pada tahap awal pendamping, pendamping desa dan tim desa yang terdiri dari tokoh kunci masyarakat, kelompok perempuan/pemuda, kelompok agama atau adat dan kelompok keterwakilan yang lainnya, melakukan PRA (Participatory Rural Appraisal / Penilaian Desa Partisipatif) dan RRA (Rapid Rural Appraisal / Penilaian Desa Cepat).
Lalu data hasil PRA dan RRA ditambah data primer dan sekunder terkait informasi desa dilakukan analisa untuk melihat kecenderungan dan mencari potensi yang dapat dikembangkan.
Dari analisa tersebut tim akan mengetahui modal yang mereka miliki, dari modal paling besar hingga yang paling kecil, sehingga tim bisa mengembangkan menjadi program atau kegiatan.
Misalnya mereka memiliki SDA yang yang besar di desa, mulai dari ternak yang banyak hingga tanaman-tanaman yang bisa menjadi pupuk dan pestisida.
Tetapi SDM-nya masih kurang tahu cara membuat pupuk dan pestisida organic. Maka dibuatlah program pengembangan kapasitas SDM dalam membuat pupuk dan pestisida organic.
Biasanya program atau kegiatan yang dibuat harus masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) desa atau Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa.
Disini peran TPP P3MD untuk memberikan pelatihan dan membantu dalam penyusunan RPJM desa atau RKP desa. Disinilah terbentuk program kolaborasi dari LSM dan TPP P3MD.
Setelah program penguatan kapasitas SDM masuk dalam RPJM desa atau RKP, maka desa mulai bisa menjalankan program dengan sumber dana dari dana desa dan mitra.
Yang dimaksud mitra ini adalah LSM atau lembaga swasta yang mendampingi, atau instansi lain.
Kerjasama program seperti ini pernah dilakukan di Desa Paku Negara dan Suka Marga. Di Desa Paku Negara, masyarakatnya banyak memiliki sapi, serta sumber daya alam berupa tanaman yang melimpah untuk dijadikan pupuk dan pestisida organic.
Lalu masyarakat disana dilatih, Sekolah Lapang Pertanian Organik (SLPO) padi. Mereka membentuk kelompok bernama Kelompok Pakogh Gila, dan mempraktekkan pertanian organic pada sawah masing-masing.
Praktek yang dilakukan ada yang langsung total organic dan ada yang semi organic. Peserta terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Setelah mereka dilatih SLPO, mereka dilatih juga menjadi fasilitator. Hasilnya, saat ada program ketahanan pangan, 2 Kelompok Tani Wanita (KWT) di desa tersebut mendapat bantuan rumah bibit dan bibit dari Dinas Pertanian, kelompok Pakogh Gila yang menjadi fasilitatornya.
Mereka melatih KWT membuat pupuk cair, pupuk dari kotoran ternak dan pestisida organic, serta ikut cara mengembangkan bibit sayuran.
Dan KWT tidak hanya praktek di rumah bibit yang sudah dibuatkan, tetapi di setiap rumah mereka juga menanam sayuran di halaman rumah. Sama halnya di Desa Suka Marga, masyarakat disana dilatih SLPO untuk tanaman kakao.
Setelah itu peserta yang sudah melatih, memberi pelatihan pada petani yang lain. Untuk yang perempuan bersama ibu-ibu di desa mengembangkan tanaman sayuran organic.
Hasil sayurannya mereka jual ke anggota atau diluar anggota. Uangnya dijadikan kas untuk mereka.Setiap keberhasilan sebuah program, biasanya ada unsur kolaborasi disana. Instansi atau lembaga pasti perlu teman untuk bisa memajukan desa.
Karena masing-masing lembaga atau instansi memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa saling melengkapi. Yang terpenting apa yang dilakukan tulus dari hati ingin melihat desa yang didampingi menjadi mandiri tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban atau menjalankan proyek saja.
Seperti lirik lagu Iwan Fals berjudul Desa.
“Desa harus menjadi kekuatan ekonomi. Desa adalah kekuatan sejati. Desalah masa depan kita. Desa adalah kenyataan”.
Harapannya dengan kolaborasi ini ketahanan pangan yang diinisiasi bisa terwujud di seluruh desa yang berada di Indonesia.
Dengan perut kenyang serta gizi yang baik, akan membuat kerja otak menjadi baik. Dan negara kita tidak lagi menjadi negara berkembang, tetapi bisa menjadi negara yang maju. ***