Oleh: Ir Fahuri Wherlian Ali KM, SP MM, Ketua Harian Ikaperta Unila 2024-2028
SEKTOR pertanian di Indonesia terdiri dari berbagai subsektor. Antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
Dari berbagai subsektor ini, tanaman pangan memberikan kontribusi penting dalam mencapai swasembada pangan melalui program diversifikasi pangan.
Salah satu diversifikasi pangan sebagai sumber karbohidrat non beras adalah ubi kayu atau singkong. Singkong merupakan komoditas yang mempunyai potensi besar.
Karena selain sebagai sumber karbohidrat, singkong dapat dimanfaatkan untuk bahan baku industri dan produk antara (intermediate product).
Hampir semua bagian dari tanaman singkong dapat digunakan. Daun dan umbi dapat diolah menjadi aneka makanan. Umbi juga dapat diolah menjadi gula cair (high fructose) dan untuk bahan bakar bioethanol.
Selain itu daun, umbi, dan batang bisa dijadikan pakan ternak Perdagangan singkong saat ini semakin berkembang. Ini ditandai dengan meningkatnya permintaan oleh negara-negara konsumen dan kian banyaknya jumlah negara pengekspor singkong di dunia.
Indonesia sebenarnya mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar internasional. Tentunya, harus diikuti dengan adanya mutu dan kualitas singkong yang baik.
Sehingga dapat berperan penting dalam perdagangan internasional.Menurut data FAO, Indonesia menempati urutan kelima sebagai produsen singkong terbesar di dunia, dengan produksi singkong sebanyak 18,3 juta ton.
Urutan teratas sebagai negara produsen adalah Nigeria dengan 60 juta ton, disusul Kongo (41,01 juta ton), serta Thailand dan Ghana masing-masing 28,9 juta ton dan 21,8 juta ton.
Sementara, konsumsi tapioka Indonesia saat ini sebanyak 5 juta ton dengan produksi nasional baru mencapai 4 juta ton. Kekurangan 1 juta ton diimpor dari Thailand dan Vietnam. Di Indonesia sentra produksi singkong tersebar di 13 provinsi. Lima besar di antaranya adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan DI Yogyakarta.
Lampung sebagai pemasok 35 persen produksi nasional, terus menunjukkan peningkatan produksi dalam beberapa tahun terakhir.Pada tahun 2023 produksi singkong Lampung mencapai 7,1 juta ton dari lahan seluas 243 ribu hektare (ha).
Pada tahun 2024 ini diprediksi produksi singkong di Lampung meningkat menjadi 7,5 juta ton dengan luas lahan panen 254 ribu ha. Di Lampung, harga singkong di tingkat petani cenderung berfluktuatif mengikuti pola panen.
Ketika luas panen menurun, harga cenderung lebih tinggi dibanding saat luas panen meningkat. Biasanya harga singkong mengalami kenaikan pada bulan Februari-Juli, di mana pada bulan tersebut luas panen lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya.
Puncak panen terjadi mulai September sampai Desember dengan harga singkong yang terus menurun dari bulan sebelumnya.
Saat ini harga singkong di Provinsi Lampung sangat rendah. Hal itu terungkap saat Rapat Dengar Pendapat antara DPRD Lampung dengan pengusaha singkong di Lampung.
Yaitu, produksi berlebih dan rendahnya mutu singkong, varietas singkong yang tidak disukai oleh pabrikan, banyak tanah tertinggal di umbi, bonggol umbi masih banyak, dan lama pengangkutan ke pabrik.
Menanam singkong di Lampung dalam 1 ha membutuhkan dana Rp8-10 juta sampai siap panen selama hampir 10 bulan dengan produksi rerata 25 ton per ha. Kemudian biaya panen dan angkut Rp150 x 25 ton sebesar Rp3.750.000. Harga singkong saat ini berkisar Rp1000 dengan potongan 25 persen.
Artinya, hasil yang didapat petani 18,75 ton x Rp1000 sebesar Rp18,75 juta.Hasil ini bila dikurangi dengan biaya pengeluaran, maka petani hanya akan mendapatkan Rp5 juta. Dan, tentunya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar selama 1 tahun.
Jadi wajar saja bila anggota DPRD Lampung meminta pengusaha untuk menaikkan harga singkong mencapai Rp1500 dengan potongan 15 persen.
Dengan begitu, petani akan mendapatkan sekitar Rp18 juta setelah dikurangi pengeluaran. Walaupun, harga tersebut masih rendah.
Menyikapi hal tersebut, penulis ingin menyampaikan beberapa hal, di antaranya:(1) Perusahaan singkong wajib melakukan kemitraan dengan petani, sementara pemerintah membantu bibit singkong.
Untuk melakukan kemitraan, petani pun wajib membuat lembaga, semacam koperasi sehingga meminimalisasi petani nakal.
Kemitraan yang akan dibangun bisa berupa contract farming. Kemitraan ini telah dilakukan oleh PT GGP dengan petani pisang di Kabupaten Tanggamus.(2) Mengundang investor untuk membuat pabrik singkong di Lampung dengan syarat perusahaan tersebut wajib melakukan mitra dengan petani. Hal ini telah dilakukan oleh perusahaan tebu.(3) Membuat produk turunan selain tapioka, semisal Mocaf.
Tetapi sebelum mendirikan pabrik mocaf, harus dicari pasar terlebih dahulu sehingga produksi mocaf terukur. (4) Membentuk tim penilai kadar aci yang berisikan pemerintah, akademis, dan perusahaan.
Petani sebelum panen meminta tim tersebut untuk menilai kadar aci tanaman singkong sehingga terjadi kesepakatan antara petani dan user.(5) Mencegah kebocoran keran impor, karena Indonesia saat ini masih kekurangan 1 juta ton tapioka untuk memenuhi kebutuhan nasional. (6) Pergiliran tanaman palawija lainnya, terlihat dari data harga akan turun di bulan September sampai Desember.
Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan untuk memperbaiki tataniaga singkong di Lampung. Sehingga, perusahaan senang, petani riang, dan pemerintah pun tenang. Tabik. ***