Minggu, 09 Nov 2025
Senin, 19 Mei 2025

Sinergi Pemerintah, Peternak Rakyat, dan Sertifikasi Penyembelihan Menjelang Idul Adha dalam Meningkatkan Kesehatan dan Keamanan Hewan Qurban


Oleh: Prof. Dr. Kusuma Adhianto, S.Pt., M.P.,
Guru Besar Produksi Ternak Ruminansia dan anggota Ikaperta Unila

SETIAP Idul Adha, jutaan umat muslim di seluruh dunia melaksanakan ibadah qurban sebagai bentuk ketakwaan dan solidaritas sosial.

Di Indonesia, penyembelihan hewan qurban tidak hanya menjadi ibadah personal, tetapi juga peristiwa sosial-keagamaan berskala besar yang menyentuh berbagai aspek: ekonomi, kesehatan masyarakat, hingga etika pemeliharaan hewan.

Dalam konteks inilah penting untuk memastikan bahwa hewan yang disembelih sehat, layak konsumsi, dan disembelih sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Dua tantangan utama menjelang Idul Adha adalah: menjamin kesehatan hewan qurban dan menegakkan standar penyembelihan serta sertifikasi halal.

Keduanya tak bisa dipisahkan dan membutuhkan sinergi antara pemerintah, peternak rakyat, masyarakat, serta lembaga keagamaan.

Sebagian besar hewan qurban di Indonesia—khususnya kambing, domba, dan sebagian sapi—dipasok oleh peternak rakyat.

Meski menjadi tulang punggung penyediaan ternak, peternak kecil sering menghadapi berbagai kendala: keterbatasan modal, pakan berkualitas rendah, dan minimnya akses layanan kesehatan hewan.

Padahal, hewan yang layak dijadikan qurban harus memenuhi beberapa syarat fiqih, antara lain: cukup umur, tidak cacat, serta dalam kondisi sehat dan kuat.

Dari sisi medis, hewan harus bebas dari penyakit menular seperti brucellosis, PMK (penyakit mulut dan kuku), LSD, serta parasit gastrointestinal yang dapat memengaruhi kualitas dan keamanan daging.

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak peternak belum melakukan pemantauan rutin terhadap kondisi kesehatan ternaknya. Vaksinasi, deworming, dan pencegahan penyakit belum menjadi praktik umum.

Situasi ini diperparah dengan lemahnya pengawasan dan pemeriksaan kesehatan di pasar hewan atau tempat penjualan menjelang Idul Adha.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah—terutama dinas peternakan dan kesehatan hewan—memegang peranan penting.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain: 1) Pendirian pos pemeriksaan kesehatan hewan (animal check point) di pasar ternak dan titik distribusi hewan qurban. 2) Vaksinasi massal dan penyuluhan langsung kepada peternak rakyat, khususnya di daerah sentra ternak. 3) Pemberdayaan penyuluh dan paramedis hewan di tingkat kecamatan untuk mendampingi peternak dalam manajemen kesehatan dan pakan.

Program ini perlu dikawal oleh sistem pelaporan digital untuk memantau asal-usul dan status kesehatan hewan secara transparan.

Langkah preventif ini tidak hanya menjaga kualitas hewan, tetapi juga memberikan perlindungan bagi konsumen yang akan menerima daging qurban.

Selain itu, peran pemerintah tidak berhenti sampai distribusi hewan ke lokasi qurban, melainkan harus berlanjut pada tahapan pengawasan saat penyembelihan.

Pemerintah daerah, melalui dinas terkait, perlu menurunkan tim pengawas di tempat-tempat penyembelihan hewan, baik yang dilakukan di RPH maupun di lapangan terbuka.

Pengawasan ini mencakup: 1) Pemeriksaan dokumen dan kondisi hewan sesaat sebelum penyembelihan. 2) Verifikasi kehadiran juru sembelih halal bersertifikat (Juleha) di lokasi. 3) Penilaian kelayakan tempat penyembelihan, mencakup sanitasi, aliran air bersih, dan sistem penanganan limbah. 4) Monitoring penerapan prinsip animal welfare, termasuk metode penanganan sebelum disembelih dan kecepatan proses penyembelihan agar tidak menyiksa hewan.

Kehadiran petugas ini juga menjadi bentuk edukasi dan pengingat bagi panitia qurban untuk tidak abai terhadap standar kesehatan dan kehalalan.

Bahkan, untuk jangka panjang, pemerintah bisa mendorong kewajiban pelaporan kegiatan qurban berbasis digital atau form tertulis, yang menyertakan data jenis hewan, jumlah, asal-usul, lokasi penyembelihan, dan nama juru sembelih.

Masalah tidak berhenti pada kesehatan hewan. Proses penyembelihan juga menghadapi tantangan besar, terutama dari sisi kebersihan, sertifikasi, dan penegakan syariat.

Meskipun fiqih membolehkan penyembelihan di tempat terbuka, kenyataannya penyembelihan yang dilakukan di lokasi tidak higienis (halaman rumah, gang sempit, lapangan terbuka) sering kali berpotensi mencemari daging dan lingkungan.

Minimnya sarana penyembelihan yang layak menyebabkan risiko kontaminasi bakteri, pencemaran tanah dan air, serta penurunan mutu daging akibat proses pengulitan dan pencacahan yang tidak higienis.

Di sinilah pentingnya rumah potong hewan (RPH) qurban yang tersertifikasi dan penerapan standar penyembelihan halal.

Sertifikasi tersebut mencakup aspek: 1) Kesehatan dan sanitasi lingkungan RPH. 2) Pelatihan juru sembelih halal (Juleha) yang memahami prosedur fiqih dan teknik penyembelihan modern. 3) Pemisahan antara area penyembelihan, pengulitan, dan penyembelihan daging. 4) Sistem rantai dingin (cold chain) untuk menjaga kesegaran dan keamanan daging selama distribusi.

Dengan mengintegrasikan RPH dan sistem distribusi modern, daging qurban bisa diproses secara higienis, didistribusikan secara efisien, dan sampai ke tangan mustahik dalam kondisi aman dan berkualitas.

Tidak kalah penting adalah peran Juru Sembelih Halal (Juleha). Dalam fiqih, penyembelihan hewan qurban harus dilakukan oleh seorang Muslim yang memahami tata cara penyembelihan sesuai syariat: membaca basmalah dan takbir, memotong tiga saluran penting (kerongkongan, saluran nafas, dan dua pembuluh darah), serta dilakukan dengan alat yang tajam untuk menghindari penyiksaan.

Juleha juga wajib memahami prinsip animal welfare, yaitu perlakuan baik terhadap hewan sebelum dan selama penyembelihan.

Sayangnya, masih banyak juru sembelih yang belum mendapat pelatihan teknis dan keagamaan yang memadai.

Oleh karena itu, pelatihan Juleha bersertifikat harus diperluas, terutama di tingkat desa dan kota kecil.

Sertifikat ini dapat dikeluarkan oleh MUI atau lembaga yang diakui, dan menjadi syarat bagi siapa pun yang hendak menyembelih hewan qurban secara publik.

Menghadapi berbagai tantangan tersebut, dibutuhkan sinergi lintas sektor: Pemerintah pusat dan daerah: menyiapkan infrastruktur RPH, regulasi sertifikasi, serta pengawasan kesehatan hewan; Peternak rakyat: meningkatkan manajemen pemeliharaan dan memanfaatkan layanan kesehatan hewan; Organisasi Islam dan lembaga zakat: memastikan pelaksanaan qurban sesuai syariat dan standar mutu; Masyarakat konsumen: memilih hewan qurban dari sumber terpercaya dan mendukung penyembelihan di tempat yang higienis.

Digitalisasi juga dapat membantu. Platform berbasis teknologi dapat menghubungkan peternak, panitia qurban, dan konsumen dalam satu sistem informasi yang transparan.

Data asal ternak, pemeriksaan kesehatan, lokasi penyembelihan, dan distribusi daging dapat dipantau secara real-time.

Qurban adalah ibadah besar yang tidak hanya berdimensi spiritual, tetapi juga sosial, lingkungan, dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak bisa dilakukan asal-asalan.

Kita harus berkomitmen menjadikan momen qurban sebagai sarana peningkatan kualitas hidup, baik bagi hewan, peternak, maupun masyarakat penerima manfaat. Meningkatkan kesehatan dan keamanan hewan qurban adalah tanggung jawab kolektif.

Dengan sistem yang baik, peternak rakyat akan sejahtera, konsumen merasa aman, dan nilai ibadah qurban semakin sempurna.

Sudah saatnya kita tidak hanya fokus pada kuantitas hewan yang disembelih, tetapi juga kualitas pelaksanaannya. Karena sejatinya, qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi tentang menegakkan nilai kemanusiaan dan keadilan dalam bingkai ibadah. ***

Tuliskan komtar mu disini
Tulisan Lainnya...