Oleh: M. Syanda Giantara Ali KM, S.P., M.P. Alumnus Magister Pertanian Universitas Lampung & Anggota Ikaperta UNILA
SAAT pangan tak lagi pasti, masyarakat kota perlu kembali mengendalikan sumber makannya sendiri. Harga kebutuhan pokok kian menanjak, distribusi tidak selalu lancar, dan cuaca sulit ditebak.
Dalam situasi seperti ini, masihkah kita bergantung sepenuhnya pada pasar dan distribusi skala besar yang rawan terganggu?Urban farming atau bertani di lingkungan perkotaan kini bukan lagi wacana alternatif. Ia telah menjadi strategi bertahan yang relevan dan terjangkau.
Tak perlu lahan luas atau teknologi canggih. Ember bekas, toren air, halaman sempit, atau rak bambu sederhana cukup untuk menanam sayuran, membudidayakan ikan lele, atau memelihara ayam kampung.
Semuanya dapat dilakukan dari rumah—dengan tangan sendiri.Pemerintah sendiri telah memberi ruang bagi inisiatif ini.
Program Pekarangan Pangan Lestari (P2L) dari Kementerian Pertanian mendorong pemanfaatan pekarangan rumah sebagai sumber pangan harian.
Dalam dokumen RPJMN 2020–2024, penguatan sistem pangan lokal menjadi salah satu prioritas pembangunan.
Bahkan dalam Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2021, sebesar 20 persen Dana Desa diarahkan untuk ketahanan pangan.
Artinya, urban farming tidak lagi dipandang sebagai aktivitas sampingan, melainkan bagian dari arsitektur ketahanan pangan nasional.
Lebih dari itu, urban farming perlu diposisikan sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional.
Pertanian kota menjadi simpul dari berbagai visi strategis—mulai dari pengembangan kota hijau yang ramah lingkungan, kota cerdas yang partisipatif, hingga pembangunan kawasan permukiman yang tangguh dan inklusif.
Urban farming menghadirkan ruang interaksi antara warga dan lingkungan, memperkuat kemandirian ekonomi rumah tangga, serta menghidupkan kembali keterhubungan sosial dalam kehidupan perkotaan. Ia adalah jembatan antara ekologi, ekonomi, dan sosial.
Penelitian Balitbang Kementan menyebutkan bahwa pemanfaatan pekarangan secara konsisten dapat memenuhi hingga 30–50 persen kebutuhan sayur dan rempah keluarga.
Angka ini bukan sekadar asumsi. Jika 10 juta rumah tangga di Indonesia mengelola lahan 10 meter persegi saja, kita bisa membuka ruang baru setara 100.000 hektare lahan produktif di wilayah urban.
Ini bukan hanya mengurangi beban pasar, tapi juga mengurangi ketergantungan kita pada jalur distribusi panjang yang rawan krisis.Prof. Dr. Ir. Dwi Andreas Santosa dari IPB University menegaskan bahwa pertanian kota bukan lagi alternatif, melainkan kebutuhan dalam sistem pangan yang rapuh dan sentralistik.
Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa dalam dunia yang makin kompleks, solusi justru lahir dari yang paling sederhana—dari pekarangan, dari tangan warga, dari rumah.
Dengan urgensi tersebut, urban farming kini berkembang dalam berbagai bentuk. Pada skala rumah tangga, masyarakat mulai menanam kangkung, bayam, tomat, atau kelor.
Budidaya ikan dalam ember, kolam fiber mini, hingga ternak ayam kampung mulai populer sebagai sumber protein mandiri.
Seorang ibu rumah tangga di kota pinggiran pernah berkata, “Sejak menanam kangkung dan tomat di ember, saya tidak pernah lagi beli sayur pagi-pagi.
Tinggal petik, masak, makan.” Kalimat itu barangkali terdengar sederhana, tetapi menyimpan pesan besar tentang kemandirian.
Di skala komunitas, banyak kelompok warga mulai mengelola kebun kolektif, rumah bibit bersama, hingga bank kompos lokal.
Tidak membutuhkan infrastruktur kompleks, hanya semangat gotong royong dan kemauan belajar.
Tantangannya bukan pada lahan, melainkan pada literasi teknis dan motivasi warga. Seperti diungkapkan Dr. Siti Maisaroh dari Universitas Lampung, “Kendala utama dalam urban farming bukan pada lahan, tetapi pada literasi teknis dan motivasi warga.
Dengan pendampingan ringan, rumah tangga di perkotaan pun bisa mandiri pangan.” Maka, yang dibutuhkan bukan program besar dengan biaya tinggi, tapi intervensi kecil yang tepat sasaran: pelatihan praktis, penyediaan bibit produktif, dan penguatan komunitas.
Lebih dari sekadar aktivitas bertanam, urban farming juga menghadirkan nilai sosial dan budaya. Ia membuka ruang belajar bagi anak-anak, memperkuat peran produktif ibu rumah tangga, dan menjadi aktivitas sehat bagi lansia.
Di tengah dunia yang makin terputus dari tanah dan musim, kegiatan menanam menjadi pengingat akan siklus hidup dan ketergantungan kita pada alam.
Mary Corcoran dari Maynooth University menyebut urban farming sebagai cara mengambil kembali kendali atas apa yang kita konsumsi.
Dalam dunia yang serba instan dan digital, menanam justru menjadi tindakan paling personal dan bermakna.Urban farming tidak harus dimulai dari proyek besar.
Cukup dari beberapa ikan lele di ember, beberapa butir telur dari ayam di pekarangan, segenggam kacang tanah dalam galon bekas, atau bayam yang tumbuh subur di polybag. Setiap kali kita memanen protein atau sayuran dari halaman sendiri, kita sedang melatih tangan dan naluri untuk mandiri.
Bukan hanya mengurangi pengeluaran, tetapi juga membangun keyakinan bahwa sebagian kebutuhan sehari-hari dapat diselesaikan dari rumah.
Dan bila langkah-langkah kecil ini dilakukan secara kolektif—oleh jutaan rumah tangga di berbagai kota—kita tak hanya menanam pangan, tetapi juga menyemai masa depan.
Ketika jutaan rumah tangga berhasil mandiri pangan, bukan hanya dapur mereka yang terjamin. Ekonomi mikro bergerak, pengeluaran rumah tangga menurun, dan sistem pangan nasional menjadi lebih stabil.
Maka, urban farming bukan sekadar strategi bertahan, tapi fondasi kesejahteraan kolektif bangsa.Kini saatnya memulai dari yang paling dekat—dari rumah sendiri.
Sebab dari satu pot yang tumbuh hari ini, bisa lahir harapan besar bagi kemandirian pangan. Dan setidaknya, kita turut memproduksi oksigen untuk kita hirup. Mari menanam. ***