Oleh: Ilham Mendrofa, alumni Pertanian Universitas Lampung
Pertanyaan itu meluncur begitu saja sore itu, di sebuah kafe kecil –Warta coffee– dekat bundaran gajah Bandar Lampung. Saya tak menduga obrolan yang semula santai berubah menjadi perdebatan serius.
Dihadapan saya duduk Fitra Alfarisi—junior saya di kampus dulu, mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam yang kini menjelma birokrat berprestasi.
Tiga tahun tak bertemu, tahu-tahu ia muncul sebagai bagian penting di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Lampung–Bengkulu. Senyumnya masih sama, tapi ucapannya kini penuh data.
“Bang,” katanya pelan, “musibah keracunan itu tragedi kemanusiaan. Nyawa bukan sekadar angka atau persentase. Tapi percayalah, MBG sedang berbenah. Di Lampung saja, hampir 1,3 juta penerima manfaat sudah terlayani—baru 55 persen dari target. Tahun depan, kami siapkan 791 dapur se-Lampung.” Kami mengangguk, tapi tak serta-merta percaya.

Diskusi mengalir deras, seperti arus Way Seputih selepas hujan. Pertanyaan muncul beruntun: “Bagaimana dengan isu fee yayasan?”
“Benarkah ada kelangkaan bahan baku?”
“Kenapa menu didominasi gandum impor, bukan pangan lokal?”
“Petugas gizi di bawah standar, apa tidak berbahaya?”
“Bukankah kapasitas 3.000 porsi rawan basi?”
Seakan semua gosip yang berseliweran di media ditumpahkan ke meja kami sore itu.
Fitra tetap kalem. Ia mendengarkan, menahan diri, lalu menjawab satu per satu. Tidak hanya sebagai pejabat, tapi sebagai adik, sebagai kawan.
“Bang, program ini rekayasa sosial. Butuh waktu. Tahun pertama, fokusnya memang pada anggaran dan pendataan. Tahun depan, dapur akan dikelompokkan, tata kelola diperketat. Ingat Prof. Haris Hasyim? Beliau sering bilang: good will dan political will itu pondasi awal. MBG adalah niat baik itu. Ia menggerakkan ekonomi kampung, membuat telur, beras, sayur lokal kembali dicari.”
Saya menatapnya. Kata-katanya terasa seperti mengutip catatan kuliah yang lama kami tinggalkan. Data pun memperkuat ucapannya: di 2025, Kementerian Pendidikan mencatat lebih dari 62,486,432 juta siswa dan 80 ribu sekolah di Indonesia masuk program MBG, anggaran di Lampung saja mencapai Rp 7 triliun.
Dan sekarang, di Lampung, produksi telur meningkat 12 persen, harga beras petani lebih stabil, dan 40 persen tenaga dapur berasal dari keluarga miskin desil 2–3.
Diskusi sempat hening. Lalu Fithra melanjutkan, “Bang, saya tahu teman-teman kelompok sipil ini banyak yang cemas dengan keterlibatan TNI-Polri. Tapi negara butuh struktur yang sigap. Nantinya, sarjana-sarjana gizi juga akan masuk. Saya sendiri contohnya, hasil seleksi terbuka.” Ia tersenyum kecil, seakan ingin memastikan kami tidak hanya mendengar pembenaran, tapi juga melihat kesungguhan.
Wirahadikusuma, jurnalis senior, menimpali, “Wajar Fitra sukses urus anak-anak sekolah. Dulu waktu aktivis, dia juga rajin urus adek-adek.” Meja kafe pun pecah oleh tawa.
Guyonan menyelamatkan malam itu dari ketegangan. Persahabatan lama kembali terasa egaliter: saling mendengarkan, saling menyela dengan canda, lalu diam bersama saat azan maghrib berkumandang.
Kami menutup diskusi dengan doa berjamaah—ritual kecil yang seakan mengikat ulang persaudaraan.
Seorang filsuf pernah berkata, “To care for another’s hunger is the beginning of humanity.” Barangkali itu yang hendak dicapai MBG: bukan sekadar menu gratis, melainkan sebuah pengakuan bahwa anak bangsa tak boleh lapar di tanah sendiri.
Malam makin larut. Di Bandar Lampung, persahabatan tetap bergizi, ditemani uduk Toha yang legendaris.
Dan sebelum pulang, seseorang nyeletuk: “Bang, kalau program MBG ini sukses, jangan-jangan kita nanti makan gratis terus tiap kongkow. Tapi jangan salah, kalau basi, bang Firman Sabay –konglomerat Kotabumi duluan yang coba, ya!” Tawa pun pecah. Hangat. Persis seperti kopi hitam yang tak pernah dingin di meja kami.
Bandar Lampung, 26 September 2025. Semua kenangan lalu itu terlintas.. ***