Oleh: Anisa Ramadhani, S.Pt., M.Pt., Dosen Jurusan Peternakan Universitas Lampung dan Anggota Ikaperta Unila
Tantangan Pancaroba Bagi Peternak Unggas
Sempat merasakan flu, demam, dan batuk pada September lalu? Kemungkinan dampak dari pancaroba mulai terasa.
Musim pancaroba atau masa peralihan antara dua musim utama, merupakan musim yang perlu diwaspadai.
Peralihan antara dua musim ini seringkali ditandai dengan perubahan cuaca tidak menentu, seperti siang terasa sangat menyengat tetapi hujan deras tiba-tiba turun pada malam hari.
Kondisi yang demikian tidak hanya menyulitkan manusia, tetapi juga memberikan dampak serius bagi dunia peternakan, terutama unggas.
Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika menyebut bahwa masa peralihan atau pancaroba berlangsung September hingga November atau Desember 2025.
Peralihan dua musim ini menyebabkan terjadinya perubahan cuaca secara ekstrim dan memicu timbulnya stres bagi ternak unggas.
Apalagi unggas dikenal sangat sensitif dengan perubahan cuaca yang muncul secara tiba-tiba. Stres pada unggas dapat berakibat pada penurunan nafsu makan, pelemahan sistem imun hingga mudahnya terkena penyakit.
Apabila tidak segera diantisipasi, kondisi ini dapat berakibat negatif seperti penurunan produksi, peningkatan angka kematian, hingga kerugian ekonomi bagi peternak.
Upaya yang Dapat Dilakukan
Beberapa upaya dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya stres dan penyakit unggas dalam menghadapi musim pancaroba.
Upaya-upaya tersebut meliputi perbaikan manajemen kandang, peningkatan biosecurity, monitoring dan kesehatan ternak, pemberian pakan dengan nutrisi yang tepat, serta penambahan fitobiotik sebagai feed additive.
Mengenal Lebih Jauh Apa Itu Fitobiotik?
Menurut guru besar bidang nutrisi non ruminansia Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Ir. Osfar Sjofjan, M.Sc IPU ASEAN Eng, fitobiotik merupakan pakan aditif yang memanfaatkan senyawa aktif berasal dari tanaman herbal dan memiliki dampak baik bagi tubuh unggas.
Pemanfaatan senyawa tersebut dapat membantu menjaga kesehatan usus, meningkatkan imun, hingga memperbaiki performa produksi. Fitobiotik dapat ditemukan dari berbagai sumber dengan kandungan senyawa aktif yang berbeda.
Fitobiotik dapat bersumber dari rempah (seperti jahe, kunyit, lengkuas) yang mengandung gingerol, kurkumin, dan galangin; tanaman aromatik (kayu manis, cengkeh, oregano, daun mint) dengan kandungan sinnamaldehida, carvacrol, dan mentol; tanaman leguminosa dan daun hijau (lamtoro, daun katuk, daun papaya) yang mengandung mimosin, papaverine, dan papain; biji dan buah (mengkudu, ekstrak biji asam) dengan flavonoid, polifenol, dan saponin; serta kulit dan akar (kulit manggis, akar licorice) yang mengandung antosianin, coumarin, dan xanton.
Penggunaan fitobiotik sebagai pakan aditif dilakukan dengan menambahkan bahan herbal dalam pakan dengan jumlah yang sedikit. Hal ini dikarenakan penggunaannya hanya sebagai tambahan dan bukan merupakan sumber energi/protein utama, selain itu penggunaan fitobiotik telah mampu memberikan respon positif meskipun diberikan dalam jumlah terbatas.
Respon positif yang diberikan ini berasal dari senyawa aktif yang bekerja dengan baik. Senyawa aktif seperti kurkumin, tanin, flavonoid, saponin, dan lain sebagainya mampu menjalankan peran sebagai antibakteri, antivirus, dan antiinflamasi.
Senyawa-senyawa tersebut mampu bekerja dengan memperbaiki kondisi saluran pencernaan dan meningkatkan kecernaan pakan pada ternak. Berbagai senyawa tersebut juga berperan dalam merusak membran bakteri patogen seperti E.coli, Salmonella, dan Clostridium.
Melalui penekanan populasi patogen, kompetisi dengan mikroflora baik berkurang sehingga sistem imun menjadi meningkat. Apabila sistem imun unggas meningkat dan lebih stabil, dampaknya unggas akan lebih tahan terhadap stress lingkungan termasuk pancaroba.
Mekanisme ini juga dipertegas oleh hasil penelitian yang telah dilakukan. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pemberian fitobiotik pada unggas dapat meningkatkan toleransi termal, modulasi imun, dan performa ayam pedaging di bawah pengaruh cuaca ekstrim.
Fitobiotik memiliki kemampuan dalam menurunkan temperatur inti tubuh, berperan sebagai antioksidan, serta memodulasi mikrobiota untuk mengurangi dampak stress akibat pengaruh cuaca.
Penggunaan fitobiotik sebagai pakan aditif juga dapat dimanfaatkan untuk menggantikan AGP atau Antibiotic Growth Promotor yang penggunaannya telah dilarang sebab menimbulkan resistensi, meninggalkan residu, serta membahayakan kesehatan unggas dan manusia.
Fitobiotik yang berasal dari tanaman herbal dengan kemampuannya dalam meningkatkan sistem imun juga memiliki kelebihan lain apabila digunakan sebagai pengganti AGP. Fitobiotik tidak meninggalkan residu berbahaya, lebih ramah lingkungan, serta tidak menimbulkan dampak negatif lain untuk kesehatan ternak maupun manusia.
Aplikasi fitobiotik sebagai pengganti AGP dibuktikan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa penggunaan fitobiotik mampu meningkatkan nafsu makan (Dieumou et al., 2009), meningkatkan pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan (Buryakov et al., 2023), menurunkan kolesterol telur dan meningkatkan kualitas yolk (Abdelli et al., 2021), serta meningkatkan produksi dan kualitas telur yang dihasilkan (Jha et al., 2020).
Peluang dan Tantangan Penggunaan Fitobiotik
Pengembangan fitobiotik sebagai pengganti AGP memiliki peluang besar di masa depan. Berbagai kelebihan yang dimiliki fitobiotik dapat dirasakan apabila diaplikasikan dengan benar.
Penggunaan fitobiotik selain berpeluang meningkatkan ekonomi melalui peningkatan produksi, juga turut menjadi bagian dalam upaya ketahanan pangan, serta berdampak baik pada pengembangan berbagai sumber herbal dikemudian hari.
Tanaman herbal lokal seperti sambiloto, brotowali, mengkudu yang sering ditemukan di sekitar akan lebih termanfaatkan dengan baik dan petani herbal turut merasakan dampak positif ini.
Terciptanya lingkungan yang sehat juga menjadi bagian positif lainnya sebab keseluruhannya bersumber pada alam, tidak resisten, dan tidak merusak.
Namun penggunaan fitobiotik juga tidak luput dari berbagai tantangan. Tantangan-tantangan seperti tingginya variasi kualitas bahan, belum ada standarisasi penggunaan dosis yang tepat, efek samping dan penurunan palatabilitas yang muncul sebab kuatnya aroma dari herbal, stabilitas dalam bahan yang mudah rusak bila terkena panas dan oksidasi, hingga regulasi dan keamanan yang belum ada.
Hasil penelitian lapang yang bervariasi juga menjadikan perlu adanya penelitian lebih lanjut khususnya uji coba pada peternakan skala komersial. Selain itu kolaborasi riset dengan industri juga dapat dilakukan untuk standarisasi dosis melalui uji klinis.
Di masa depan, harapannya fitobiotik dapat diterapkan pada peternakan dari skala rakyat hingga komersial dan dapat dijadikan kunci peternakan berkelanjutan di Indonesia. ***