Oleh: Fauziah Yulia Adriyani, Penyuluh Pertanian Madya Balai Penerapan Modernisasi Pertanian (BRMP) Lampung dan Anggota Ikaperta Unila
APA yang Anda bayangkan ketika mendengar kata petani? Sebagian besar orang mungkin langsung mengaitkannya dengan pekerjaan kasar, penghasilan rendah, lingkungan kerja yang kotor, dan berbagai hal negatif lainnya.
Pandangan ini berakar dari metode bertani yang digunakan oleh generasi sebelumnya—seperti ayah dan kakek kita—yang identik dengan bergelut di lumpur serta bekerja di bawah terik matahari selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Pertanian adalah sektor yang sangat bergantung pada tenaga kerja manusia, mulai dari pengolahan lahan, penanaman, panen, hingga pascapanen.
Meskipun jumlah penduduk terus meningkat, sektor ini tetap mengalami krisis tenaga kerja. Ironisnya, kelangkaan ini justru dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan perubahan pola pikir masyarakat.
Tak dapat dipungkiri, minat generasi muda untuk berkarier di bidang pertanian terus menurun karena mereka cenderung memilih pekerjaan di pabrik atau perusahaan swasta yang dianggap lebih menjanjikan.
Kondisi ini berdampak langsung pada budidaya padi, yang sebagian besar masih sangat mengandalkan tenaga kerja manual, khususnya pada tahap penanaman.
Untuk menjawab tantangan ini, penggunaan mesin menjadi salah satu solusi yang patut dipertimbangkan. Mesin mampu menggantikan peran manusia dalam berbagai tahapan pertanian.
Namun, meskipun banyak petani menyadari manfaat mesin dalam menekan kebutuhan tenaga kerja, adopsi teknologi ini belum meluas.
Hanya sebagian kecil petani yang telah menggunakan hand tractor untuk membajak lahan, rice transplanter atau mesin tanam padi yang dapat mengefisienkan proses tanam dengan jarak yang seragam, serta combine harvester yang menggabungkan proses memanen, merontokkan, dan membersihkan gabah dalam satu kali jalan mesin tanam padi atau alat panen seperti combine harvester.
Perlu diingat, teknologi bukanlah solusi instan atas seluruh persoalan di sektor pertanian. Dalam beberapa kasus, kehadirannya bahkan dapat menimbulkan masalah baru.
Contohnya, penggunaan mesin tanam padi (transplanter) memang terbukti mampu meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kesejahteraan petani.
Namun, perubahan ini juga membawa dampak sosial yang dapat merugikan jika tidak dikelola secara bijak. Kelangkaan tenaga kerja menjadi isu penting dalam pertanian. Namun, “langka” bukan berarti tidak ada.
Beberapa buruh tanam dan panen merasa terancam dengan keberadaan mesin, karena mereka menganggap pendapatannya akan berkurang.
Padahal, pendapatan keluarga petani tidak selalu menurun akibat mekanisasi. Hal ini karena sebagian besar tenaga kerja tanam berasal dari keluarga petani sendiri.
Pengurangan pendapatan akibat hilangnya pekerjaan tanam dapat dikompensasi dengan meningkatnya margin keuntungan usahatani, berkat efisiensi biaya produksi.
Selain itu, buruh tanam yang kehilangan pekerjaan dapat dialihkan ke peran lain, seperti menjadi tenaga kerja dalam pembuatan persemaian kering dengan sistem dapog.
Dalam konteks ini, para pekerja—yang umumnya perempuan—masih memiliki peluang untuk memperoleh penghasilan melalui pekerjaan yang lebih ringan secara fisik namun tetap bernilai ekonomis.
Pembuatan dapog memerlukan keterampilan khusus dalam menyiapkan media tanam, menyemai benih, dan merawat bibit.
Proses ini tidak hanya memerlukan ketelitian dan kesabaran, tetapi juga membuka peluang usaha mikro berbasis kelompok tani atau usaha bersama.
Selain pembuatan dapog, para buruh juga dapat dilibatkan dalam kegiatan lain seperti pembibitan tanaman hortikultura, pengolahan hasil pasca panen (misalnya sortasi, pengemasan, dan pengeringan gabah).
Dengan demikian, mekanisasi pertanian bukan berarti menghilangkan lapangan kerja, tetapi justru mengalihkan tenaga kerja ke sektor-sektor yang lebih produktif dan berkelanjutan.
Permasalahan lain dalam penerapan mesin tanam adalah harga alat yang relatif mahal, sehingga tidak terjangkau oleh petani perorangan.
Program pemerintah yang menyalurkan alat dan mesin pertanian (alsintan) kepada kelompok tani atau Gapoktan belum sepenuhnya menjawab persoalan tersebut.
Dalam praktiknya, sebagian besar alat yang disalurkan tidak memberikan manfaat ekonomi yang optimal dan kurang berkelanjutan.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan waktu operasional. Sebagian besar alsintan hanya digunakan di lahan milik kelompok penerima, sehingga waktu penggunaan alat menjadi sangat terbatas.
Misalnya, hand tractor dan transplanter hanya digunakan sekitar 1–2 bulan per musim tanam, atau sekitar 4 bulan dalam setahun.
Keterbatasan ini menyebabkan rendahnya efisiensi alat dan membuatnya tidak cukup menguntungkan untuk menjamin keberlanjutan operasional.
Satu hal yang pasti, modernisasi dalam pertanian bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sudah menjadi suatu keharusan.
Namun, agar modernisasi tidak berhenti pada jargon semata, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan.
Proses ini harus benar-benar menjawab permasalahan krisis tenaga kerja, menurunkan biaya produksi, meningkatkan efisiensi, serta mempercepat kegiatan usaha tani secara berkelanjutan.
Modernisasi pertanian yang tepat guna akan menjadi fondasi penting bagi ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani di masa depan. ***